May 7, 2018

Laki-laki Yang Kawin Dengan Babi

Ilustrasi karya Hadi Soesanto
Setahun silam, menjelang lingsirnya matahari, saat ia memangkas dahan-dahan johar yang tersampir ke atap rumah, seekor babi berlari dari arah utara dan menyeruduk kaki tangga kayu yang ia tunggangi. Tangga kayu itu bergeser beberapa senti, hampir roboh, dan membuat beberapa genting paling tepi lengser dan jatuh ke tanah, berkeping. Seekor babi berwarna kelabu, nyaris hitam, tampak kebingungan, berputar-putar di pekarangan. Mungkin kepala babi itu sedikit pening setelah menabrak kaki tangga.
Ia menuruni anak tangga itu lekas-lekas, takut kalau babi itu kabur. Dengan tangan kanan masih menggenggam arit, dan tangan kiri mencengkeram sempalan dahan johar—yang masih memancarkan bunga-bunga warna kuning menyala, ia menggiring babi itu ke sudut pekarangan. Hendak menangkapnya. Dan babi itu, ia tak menampakkan tanda-tanda akan kabur. Justru ia melenggang tenang, seolah merelakan dirinya ditangkap.
Langit sudah terlanjur remang. Sebab babi itu, ia lupa membereskan dahan-dahan johar yang berserak di teritis rumah. Ia memburu babi malang itu dan menangkapnya. Babi itu menguik. Bagai mengatakan sesuatu. Seekor babi betina yang gemuk, pikirnya. Ia mengira, babi itu telah berlari tanpa henti dari arah hutan, lalu menggasak ladang ubi, dan baru berhenti setelah menubruk kaki tangga yang dipijaknya. Pasti sesuatu tengah mengejarnya. Ia membopong babi itu ke teritis belakang rumah. Ia menatap babi itu penuh rasa haru. Seakan kasihan, atau bahagia mendapatkan semacam berkah berupa babi betina yang gemuk.
Ia memasukkan babi itu ke kandang ayam, lantas silih memindahkan ayam-ayam ke kurungan buluh. Dari dalam rumah, ibunya yang kelewat tua, berjalan pincang dan terbungkuk-bungkuk, berteriak-teriak, ”Apa yang kau lakukan di belakang magrib-magrib begini?”
”Mengandangkan ayam,” balasnya.
Dari balik pintu dapur, meski agak rabun, perempuan tua itu masih bisa melihat lima ekor ayam berkokok ribut dikurungkan menjadi satu.
”Kenapa ayamnya ditaruh di kurungan, bukan di kandang?” perempuan tua itu memprotes.
”Di kandang ada babi, betina,” singkatnya.
Ibunya yang kelewat tua itu begitu jengah dengan segala tindak-tanduk bujangnya yang tambun, pengangguran, dan tak laku kawin. Usianya sudah hampir 40, dan ia masih seperti bocah belasan tahun. Ia waras, dan ia normal. Masih suka menyinggung anak gadis tetangga yang berparas cantik, juga memajang gambar-gambar artis yang ia potong dari koran dan majalah bekas di dinding kamar. Tapi ia tak juga berangkat menikah. Sejak dulu, ia memang tak menampakkan gejala-gejala ingin menikah. Ia tak pernah dekat dengan gadis mana pun, dan tak ada gadis mana pun yang berniat dekat dengannya. Mungkin sebab itu.
Di antara rambutnya yang mulai beruban, ia masih suka dan akan selalu suka nongkrong dengan remaja belasan tahun di mana saja, bermain gitar, gaple, pergi menonton pertunjukan. Bahkan, tak jarang, ia masih suka pergi ke lapangan untuk menyoraki bocah-bocah cilik bermain bola, layangan, atau gundu. Sedangkan rata-rata kawan sebayanya telah menggendong orok dan pergi mengajak anak-anak mereka beli kembang gula, baju-baju lucu, atau mainan.
Para tetangga menganggapnya sebagai bocah yang mengidap keterbelakangan, tapi ibunya yang aroma tanah itu tidak pernah sepakat. Di mata ibunya, ia tetap sosok lelaki yang bisa menjadi gagah, yang pantas menikah, memiliki anak, dan bekerja sebagaimana lelaki dewasa pada umumnya. Selalu saja ada angan-angan berkelebat di kepala perempuan kelewat tua itu, angan-angan yang tak pernah berganti dari tahun ke tahun, sampai tubuhnya kisut dan menua seperti itu. Sebuah kenyataan, bahwa anak lelakinya telah menjadi perjaka tua, tidak pernah diterimanya. Setiap kali ada tetangga atau kerabat berkunjung, atau sekadar lewat muka rumah, ia selalu mencegatnya, lalu bertanya apakah ada gadis di luar sana yang belum menikah, atau sudah menikah tapi menjanda, kalau ada tak ada salahnya dikenalkan pada bujangnya yang seorang itu. Bujangnya anak yang baik lagi penurut. Barangkali cocok. Barangkali jodoh.
Terlampau tuanya ia, mungkin nyaris pikun, ia kerap tak peduli kalau pertanyaan dan pernyataan semacam itu sudah ia lemparkan ke puluhan orang yang sama sebanyak puluhan kali, dari waktu ke waktu. Dan tak seorang pun berminat mendatanginya untuk bertanya perihal anak bujangnya itu. Sampai pada lingsir itu, ia benar-benar menyerah sampai ke alam bawah sadar. Menyerah pada usia, menyerah pada lupa, menyerah pada tanah.
Selepas bujangnya bilang, di dalam kandang ayam ada babi betina, ia melontarkan kata-kata di ambang sadar, serupa doa (atau kutuk?), ”Nikahi saja babi betina itu!” dan selepas itu, ia terpeleset di muka pintu dapur, tak bisa bangun selama hampir seminggu, lalu mengembuskan napas terakhir, dengan ingatan timbul tenggelam, bahwa bujangnya yang seorang itu sudah menikah dan hidup bahagia. Entah menikahi siapa. Menikahi anak gadis tetangga, menikahi seorang janda, atau barangkali menikahi seekor babi betina.
Selepas ibunya yang dijangkiti kepikunan itu meninggal, ia tinggal seorang diri di rumah yang dari hari ke hari makin berselengkat, seperti rumah tanpa penghuni. Karena tak ada yang melarang, ia mulai mengandangkan ternaknya di dapur. Lima ekor ayam dan seekor babi betina. Dari binatang-binatang itulah ia meminta makan. Ayam- ayamnya yang dua ekor jantan, kadang ia bawa ke pasar untuk diadu taruhan. Kadang ia menang dan kerap ia kalah. Sedang tiga ekor yang lain, betina, dan rajin bertelur. Satu di antaranya malah sudah mengerami telurnya. Selain untuk dibabarkan, ia menjual  telur-telur itu buat jamu, sebab, konon telur ayam kampung bagus buat jamu dan harganya lebih mahal dibanding telur ayam petelur.
Para tetangga tak begitu peduli, tak ada yang berminat datang ke rumahnya lagi semenjak ibunya tak ada, kecuali untuk membeli telur ayam kampung sesekali. Saat para tetangga mampir ke rumah untuk membeli telur itulah, ia mengoceh panjang perihal babi betina yang mendatanginya beberapa waktu silam itu. Ia bilang, babi itu adalah babi kiriman Tuhan. Babi betina itu pandai sekali, tidak pilih-pilih makanan, kalau berak bisa pergi ke kakus sendiri. Dan babi itu tampak begitu lucu mengenakan kebaya hijau pupus milik mendiang ibunya. Dan lagi, semenjak kedatangan babi betina itu, ayam-ayamnya semakin rajin bertelur.
Orang-orang tak pernah menggubris omongannya. Kedatangan mereka hanya untuk telur ayam kampung. Sudah. Yang lain tak usah digubris. Isi kepala orang idiot memang bisa macam-macam, pikir mereka.
Dari hari ke hari, menyundul bulan, ayam-ayamnya semakin babar. Dan rumahnya semakin gondrong oleh semak dan dahan-dahan pohon yang tak pernah dipangkas. Setelah ibunya meninggal, tak ada lagi yang menyuruhnya memangkas dahan pohon. Dan ia sendiri tak berminat berurusan dengan selain ayam-ayam dan seekor babi.
Sebuah kabar ganjil datang dan menyebar kemudian, ketika seorang tetangga datang membeli telur dan melihat babi betina itu telah menyusui delapan anak babi. Merah, mungil, mendekam, dan berdesakan. Maka seperti bau, warta itu menyebar dibawa angin dari satu mulut ke dua mulut lalu ke puluhan mulut dan seterusnya.
”Babi itu cuma seekor, betina pula, bagaimana ia bisa hamil dan beranak pinak?”
”Betul juga, tentu tak mungkin babi betina kawin dengan ayam jantan, apalagi mengawini diri sendiri.”
”Kalau begitu sudah jelas,
siapa ayah babi-babi kecil itu.”
”Siapa?”
”Babi lain yang ada di rumah itu!”
”Ya Tuhan, bencana apa lagi yang bakal menimpa kampung ini!”
Semenjak babi betina itu memiliki anak, para tetangga tak sudi lagi membeli telur ayam kampung padanya. Walhasil, ayamnya kian membiak, dan rumahnya benar-benar telah menjelma kandang ternak. Anak-anak babi menguik di mana saja. Anak-anak ayam berkeriap di bawah-bawah kursi, tahinya menghiasi lantai dan meja. Menguarkan aroma busuk tiada pemanai. Di mana-mana.
Bersamaan dengan gencar-gencarnya berita itu, kemarau datang, bagai mengaum. Memberangus hari-hari. Menanduskan ladang dan segala apa yang dijunjungnya. Burung-burung pemakan gabah datang berombongan, bagai wabah, meludeskan padi-padi kurus yang urung dipanen. Dan orang-orang kembali bergunjing, menyalahkan lelaki itu dan babi-babinya. Kampung ini pasti sudah dikutuk, sebab ada manusia bejat yang mengawini babi. Kita harus singkirkan setiap bentuk kezaliman. Mari serukan nama
Tuhan. Untuk menghilangkan bala, mereka harus dihukum, dirajam, dimusnahkan, atau diusir dari kampung ini.
Pada malam yang telah disepakati, warga  berurung menjadi satu, melabrak rumah bau di pinggir ladang ubi itu. Ia yang tak tahu apa-apa, muncul dari balik pintu sambil membopong anak babi yang berkemul sarung. Tubuhnya masih tambun, dan tampangnya kelewat naif. Persis makhluk yang digendongnya. Orang-orang menggertaknya, semula ia hanya mesem, namun teriakan-teriakan itu membuat nyalinya ciut. Lebih-lebih, ketika beberapa orang mulai meringsek keluar masuk rumahnya. Menggebrak pintu, menendang kursi dan meja. Membuat ternak yang tidur malam berhamburan.
Ia tak begitu paham, apa yang sebenarnya diinginkan orang-orang itu. Ia semakin tak paham, ketika orang-orang itu menutup pintu serta jendela rumahnya dari luar, lantas menyodorkan oncor dan menjentikkan api pertama.
Rumah itu mulai dijangkiti api. Dan ia hanya bisa menangis, meronta-ronta di antara cengkeraman orang-orang. Anak babi di tangannya terlepas dan kabur entah ke mana. Ketika api mulai membesar, merambati dinding dan atap rumah, ia menjerit-jerit. Menggelongsor di tanah. Berguling-guling. Seperti bocah cilik yang direbut mainannya. Ia tak sampai hati membayangkan babi-babi dan ayam-ayam kesayangannya itu berlari kalang kabut, kepanasan, dan sesak oleh asap. Ia tak kuasa membayangkan binatang-binatang lucu dan tak berdosa itu bakal terpanggang hidup-hidup.
Di atas rumah yang terbakar itu, langit hitam menjadi merah. Sementara, teriakan orang-orang kian meraja, menyerukan nama Tuhan berulang-ulang. Di antara gumpalan asap yang melambung, bergulung-gulung, ia seperti melihat begitu banyak gambar. Babi-babi yang beterbangan, ayam-ayam yang meluncur, juga wajah marah ibunya.
Mashdar Zainal, lahir di
Madiun, 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi
serta prosa. Tulisannya tepercik di berbagai media. Cerpennya beberapa kali masuk dalam Kumpulan Cerpen PilihanKompas. Kumpulan cerita terbarunya, Lumpur Tuhan, Pemenang Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, 2017. Kini bermukim di Malang.
_____________________
Hadi Soesanto, lahir di Jember, 25 Mei 1968, menetap di Yogyakarta. Pertama kali berpameran tahun 1989 di Galeri DKS, Surabaya. Kini, ia acap kali mengikuti residensi di luar negeri. Pernah menjadi Top Five Indonesia Art Award VI.
Sumber : Kmpas.id, 6 Mei 2018

No comments:

Post a Comment