June 2, 2020

Menulis Telah MemberiKu Semuanya


Ketika Semua Jalan Tertutup 


Pembaca yang budiman, perkenankan saya menuliskan penggalan cerita yang secara langsung menyangkut jalan kehidupan kepenulisan saya serta berkah yang dihasilkannya. Bisa jadi hal seperti ini jauh dari memadai, tetapi sejujurnnya menulis telah memberiku segalanya.Harapan yang memberikan semangat, semangat kehidupan yang enak dan bahagia untuk dilakoni. Memang masih tetap dalam batasan bersahaja tetapi sungguh memberikan kebahagiaan tersendiri. Menulis ternyata bisa membuka peluang dan memberikan rasa bermakna dan juga menyelesaikan persoalan itu sendiri.
Ini adalah penggalan jalan kehidupan penulis, terkait kegiatan menulis. Saya yakin hal seperti ini akan memberikan sedikit makna bagi banyak orang. Namun demikian saya percaya semua orang mempunyai penggalan kehidupannya sendiri-sendiri yang juga tidak kalah menariknya. Penggalan kehidupan yang tertatah dengan emas dan bahkan berlian. Karena itu saya juga bisa menahan diri. Tetapi yang ingin saya kemukakan di sini adalah saya pernah mengalaminya, yakni hanya punya satu pilihan. Yakni untuk jadi seseorang sebagai penulis. Padahal dari sananya, saya sama sekali jarang bersentuhan dengan upaya untuk menulis. Memang membaca saya suka. Tetapi untuk menuliskannya, saya selalu kesulitan. Kesulitan untuk menyusun kata-katanya. Mana kata-kata yang harus di dahulukan. Pendek kata menulis adalah sesuatu yang tidak terpikirkan sejak dari awalnya.
Pernah dengar dengan istilah tentang anak batak di perantauan kan? Batak tembak langsung. Tapi ini untuk setting ceritra tahun tahun 70an. Itu menurut saya adalah upaya untuk menggambarkan anak-anak batak yang di kampungnya sana, dia dengan segala keterbatasannya. Dia yang aslinya belum tahu apa-apa, dia yang tidak tahu apa itu universitas, apa itu aturan lalu lintas jalan; tidak tahu mana saatnya stop dan mana saat jalan ketika melihat lampu setopan “abang-ijo” di perempatan jalan. Tetapi semua itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk melanjutkan kuliah ke Jawa. Banyak dari mereka yang kondisi orang tuanya, sungguh tidak memungkinkan untuk membiayai kuliahnya. Tapi anak-anak batak itu tetap nekat. Tidak berbeda dengan anakan penyu yang meluncur ke laut, dari ribuan yang berlari yang sampai hanya beberapa. Saya salah satu diantaranya. Saya waktu itu, hanya berbekal uang sebesar 15 ribu rupiah dengan kesanggupan orang tua biaya bulanan satu ribu perbulan, dengan tujuan  Yogyakarta. Ongkos kapal waktu itu sudah 6 ribu, uang daftar di UGM 3 ribu. Belum lagi ini itu, jelas membaginya tidak bisa atau sangat sulit sekali.
Tapi itulah jalannya kehidupan, panggilan suratan tangan. Sesungguhnya kisah itu sendiri jauh lebih menarik kalau dituliskan dengan hati. Bagaimana anak kampung dengan semua ke idiotannya menapaki hidup di kota besar metropolitan. Banyak dari teman-teman meski tetap terbatas, tetapi umumnya punya uang bulanan bervariasi, antara 15-25 ribu perbulan. Tapi hal itu sama sekali tidak memberi pengaruh yang berlebihan bagi perjalanan nasibku. Sangat bersyukur karena meski dengan berbagai keterbatasan itu, ternyata saya diterima kuliah di UGM. Saat itu sebuah pencapaian luar biasa. Apalagi bagi seorang siswa lulusan SMA pedalaman dari Sumatera. Tetapi dengan uang satu ribu rupiah perbulan jelas ini sebuah tantangan. Tantangannya nyata dan sungguh luar biasa.
Saya sendiri punya jurus kehidupan langka tapi, menurut saya pas. Misalnya dalam mencari tempat Kos, carilah di wilayah kota yang tidak ada listriknya. Maksudnya agar segalanya lebih terjangkau dan murah. Lokasi itu saya temukan, yakni di Gondolayu, pinggir kali Code. Memang kondisinya kumuh, dan tempat mandinya juga di sumur-sumur seadanya di pinggiran kali code kala itu. Tapi bagi anak kampung seperti saya jelas itu jauh lebih baik dari di Kampung. Waktu itu saya malah dapat tempat kost yang tidak perlu bayar apa-apa.



Persoalan berikutnya adalah bagaimana hidup dengan uang sebesar itu? Memang harga beras waktu itu per kilonya masih rp 30 rupiah. Jadi 10 kg harganya sebesar 300 rupiah. Tapi hidup dengan uang 700 rupiah perbulan, sudah termasuk semuanya secara logika itu tidak masuk akal. Teman saya yang waktu itu kost di asrama Realino, bayarannya sudah 15 ribu rupiah per bulan. Tapi saya sangat percaya jalan pasti ada. Saya  yakin sekali, jalan untuk itu pasti ada. Cuma sayangnya saya belum tahu. Dari berbagai analisa yang saya lakukan, maka jalan yang tersedia adalah jadi penulis di koran harian. Karena menulis tidak terikat waktu, tidak mengganggu waktu kuliah. Tapi menulis untuk bisa dimuat di koran tentunya, bukanlah tulisan yang dibuat oleh penulis seperti saya yang tidak tahu apa-apa tentang menulis. Tapi jalan itu jelas terbuka. Dan saya percaya jalan saya ada di sana. Cuma bagaimana memulainya.
Saya beruntung dan tergolong anak anak yang mudah beradaptasi, dan dengan cepat saya mendapatkan tugas sebagai pembersih dan penunggu “kantor” RW. Sebagai petugas RW saya boleh memakai sarana itu kapan saja, tugas saya hanya merawat kantor, mengetikkan dan menyampaikan surat-surat dinas dan undangan. Entah bagaimana ceritanya, pak RW malah membolehkan saya tinggal di situ, lengkap dengan makan minum gratis di warung yang ada di dekat kantor itu. Coba bayangkan, alangkah murahnya hati pak RW itu. Tuhan menolongku lewat kebaikan hati pak RW. Sederhananya saya dapat pekerjaan jadi penjaga dan merawat kantor RW tanpa upah, tetapi sebaliknya saya bisa tinggal di kantor itu dan dapat makan. Sungguh pencapaian yang luar biasa dan, itu saya peroleh ketika saat mandi di pinggiran kali code.
Sungguh saya sangat bersyukur karena “tangan Tuhan” memberikan saya begitu mudahnya dan semuanya. Tempat tinggal dengan semua sarananya, malah ada listrik, air ledeng dan mesin tik kantor yang bisa saya pakai sampai pagi. Padahal umumnya warga di kampong itu ya hanya dengan lampu teplok dan air sumur. Waktu itu, sasaran dan tekad saya hanya satu jadi penulis. Menulis untuk mendapatkan honor bagi kelanjutan kuliah. Sebagai mahasiswa UGM akses ke perpustakaan terbuka lebar, bahan bacaan saya melimpah. Meski saya tidak atau belum bisa berbahasa inggeris, tapi anehnya saya merasa ngerti apa yang dimaksudkan oleh tulisan dalam buku-buku atau majalah berbahasa inggeris itu. Jadi seolah ide tulisan itu bisa saya tangkap untuk kemudian saya tuliskan dalam aroma dan suasana kehidupan sosial masyarakat kita. Saya terus menulis, menulis, menulis dan menulis. Menulis dengan mesin tik sebelas jari setiap ada kesempatan.
Sampai suatu hari setelah enam bulan mengetik tulisan siang  dan malam. Salah satu tulisan saya dimuat di Koran dua mingguan EKSPONEN YOGYAKARTA. Aduh senangnya bukan main. Rasanya dunia ini jadi begitu indah. Saya lalu mengajak anak pak RW mengambil honor tulisan itu di jalan KH Dahlan. Memang besarnya hanya 500 rupiah, dan honor itu sendiri saya berikan ke anaknya pak RW. Maka sontak di desa itu nama saya jadi buah bibir dan terkenal, mahasiswa UGM itu ternyata pintar juga menulis. Tetapi yang lebih heboh lagi, dua minggu kemudian, koran Sinar Harapan Jakarta memuat tulisan saya dengan honor 27.500 rupiah begitu juga dengan Surabaya Post dengan honor 30.000 rupiah. Setelah itu tulisan saya sudah ada dimana-mana. Bayangkan teman-teman saya umumnya hanya punya wessel antara 15-25 ribu perbulan sementara saya sudah punya penghasilan dengan rata-rata 30 ribu perbulan.
Saya percaya kemudahan itu, memang diberikan Tuhan pada saya karena saya telah meminta kepadaNYA. Saya telah melakoni hidup dengan penuh adaptasi, menjaga hubungan baik, menjadi anak muda yang santun dan ringan tangan. Saya tahu banyak orang yang bersimpati dengan upaya saya, ditambah lagi doa kedua orang tua setiap saat. Sejujurnya saya juga tahu dan yakin bahwa dalam perjalanan kehidupan saya, Tuhan pasti membantu saya dan yakin seyakin yakinnya bahwa pertolongan Tuhan pasti datang bila sudah tiba saatnya. Saya hanya perlu bersabar, bersabar dan ihtiar. Tapi kapan? Itulah rahasiaNYA. Karena itu saya melakukannya dengan yang terbaik, dengan empati serta dibalur dengan semangat pantang menyerah. Berkarya dengan merebut HatiNYA. Dengan referensi seperti itu, saya ingin menuliskan buku ini bagi anak-anak muda zaman sekarang. Zaman dimana semua serba ada dan serba tinggal sentuh.
Saya menikmati kehidupan masa muda saya di Gondolayu selama dua tahun. Pada tahun ke tiga saya sudah bisa menyewa kamar di Jetis Harjo tepat di depan Teknik Geologi UGM waktu itu. Sebagai mahasiswa penulis saya juga sudah punya sepeda motor, dan bisa membayar berbagai kebutuhan saya sebagai mahasiswa Yogya.  Setelah saya memasuki kuliah di tahun ketiga, maka dunia kepenulisan telah mulai memudar karena digantikan oleh dunia survei dan pemetaan. Dari segi penghasilan, tantangan kerja di lapangan ternyata dunia survei lebih menantang. Menulis bagi saya waktu itu hanyalah jadi selingan, sementara kehidupan saya sudah sepenuhnya di topang oleh pekerjaan survei dan pemetaan. Apalagi waktu itu saya juga diangkat sebagai Chief Surveyor untuk lembaga penelitian kerja sama UGM dan KemenPU dalam hal penelitian persawahan Pasang Surut. Kehidupan mahasiswa saya sangat mennyenangkan. Mandiri, penuh dinamik dan antusiasme.
Sehabis dari Yogyakarta, saya kemudian masuk Perwira wajib militer dan menjadi Letnan Satu di Direktorat Topografi TNI-AD. Saya sangat senang dengan kehidupan baru saya sebagai prajurit TNI. Porsi latihannya menurut saya banyak, hidup kita seolah hanya berkisar belajar, latihan dan penugasan. Kemudian kembali lagi ke barak, sekolah lagi dan latihan lagi untuk kemudian ditugaskan ke lapangan. Pekerjaannya penuh dan menarik hanya dalam hal kesejahteraan sungguh sangat terbatas. Dalam kondisi seperti itulah, saya kemudian melihat lagi potensi kepenulisan saya. Saya terlanjur senang dengan kehidupan prajurit tetapi dari sisi kesejahteraannya sungguh sangat terbatas dan perlu tambahan.

Waktu itu saya berhasil mendapatkan izin dari Komandan ( maksudnya boleh menekuni kepenulisan asal jangan menyangkut kebijakan pemerintah dan perihal kehidupan sosial, selebihnya silahkan). Maka saya kembali melihat potensi menulis dalam kehidupan saya. Ketemu kembali kawan lama dalam hal kepenulisan dan jadilah saya memulainya jadi  staf redaksi di Majalah MEKATRONIKA di Bandung. Saya melakoni hidup yang ambi valen ya? Ya kira-kira begitulah. Sebagai prajurit saya suka kehidupannya, saya suka pekerjaannya, pelatihannya disiplinnya,  tetapi untuk hidup saya harus jadi penulis dan menulis. Gambarannya lebih kurang begini. Sebagai prajurit dengan pangkat Lettu (1982 an) gaji dll nya semua 90 ribu perbulan, sudah termasuk Uang Lauk Pauk. Cicilan rumah 60 ribu perbulan. Hidup dengan 30 ribu dengan keluarga jelas sangat tidak memadai.
Tetapi dengan menulis saya kemudian memperoleh honor sebenar 75 ribu perbulan dengan volume tulisan minimal satu tulisan dalam satu minggu. Saya kemudian mendapatkan kontrak kepenulisan buku dengan kesediaan penerbit mau membayar satu naskah buku sebesar satu juta rupiah. Kontrak aslinya jumlah honor adalah 12.5 % dan harga buku (cover price), tetapi penerbit mau membayarkan satu juta per satu naskah dengan catatan nantinya akan di perhitungkan kembali. Karena waktu itu saya mintak ada pembayaran di depan sebagai biaya produksi yang meliputi beli buku-buku, penelitian dll. Maka jadilah saya prajurit dengan gaji sebesar  1.250 ribu rupiiah per bulan. Wow sungguh luar biasa. Sebab setiap bulan saya bisa menghasilkan satu naskah buku plus lain-lain. Secara finansial saya tergolong kuat tetapi dari segi kerja, memang kerjanya dengan berbagai arah.
Kondisi seperti itu bisa bertahan sampai satu tahun, karena kemudian tuntutan hidup ke prajuritan saya menghendaki tugas lain. Yakni sekolah ke luar negeri, ke banyak negara sahabat seperti Amerika, Australia, Inggris dan Belanda. Kalau masa itu sudah era dot com mungkin, kehidupan seperti itu malah jadi tantangan yang sangat menarik. Tetapi karena dunianya masih sangat manual, maka kerja sebagai penulis harus kembali di nomor duakan. Tapi untungnya, sebagai tugas belajar di luar negeri kita juga mendapatkan berbagai tunjangan. Tunjangan pakaian itu sudah pasti, TNI memberikan semuanya, dan tergantung lagi musim apa di sana. Jasnya saja ada 4 stel, jas dan stelan untuk kehidupan sosialisasi di tengah komunitas internasional lainnya baik sebagai warga biasa (sipil) maupun sebagai prajurit. Tunjangan berbentuk uang, yang jumlahnya itu US$24 per hari. Boleh dikatakan, dalam tiap tahunnya 6 bulan di luar negeri untuk berlatih dan belajar di luar negeri dan enam bulan lainnya di lapangan di wilayah nusantara. Menulis sudah tidak sempat lagi. Tapi satu hal yang pasti menulis dalam perjalanan hidup saya telah memberikan warna yang sangat khas, dan saya sangat menikmatinya. Menulis telah memberikan saya apa saja, termasuk segalanya di saat semua jalan seolah sudah terutup. Semoga ada manfaatnya.

No comments:

Post a Comment