Semua Punya Peluang Nikmati IhtiarMu
Menurut Gede Prama[1], setiap orang lahir bersama peluangnya. Saya percaya itu, meskipun seseorang itu lahir di tengah keluarga miskin, perkampungan miskin yang kumuh semua itu tidak akan mematikan peluang seseorang. Tetapi sebaliknya kemiskinan dan kesusahan yang diakibatkannya malah jadi “ medan olah yudha” atau kesempatan yang tiada tara untuk menempa diri hingga menjadi seseorang yang mampu mengatasi semua persoalan hidupnya. Sebagai referensi saya kemukakan dua tokoh berikut ini.
Bahlil Lahadalia, sejak kecil dia sudah dalam putaran
kehidupan miskin. Sejak SD dia sudah terbiasa membantu Orangtua. Karena memang
saat itu keluarganya, nyaris tidak punya
apa-apa. Mamahnya terpaksa jadi tukang
cuci di rumah tetangga. Hal itu untuk bisa membantu bapaknya yang bekerja
sebagai buruh kuli bangunan dengan gaji
saat itu Rp 7.500/hari setara dengan Rp 100.000. saat ini. Keluarga dengan 8
orang bersaudara ini, awalnya 9, salah satu meninggal dunia, Bahlil adalah anak
kedua. Kita juga pasti paham, bahwa setiap anggota keluarga ini secara tidak
langsung pasti telah berparti sipasi dan memberikan kontribusinya
masing-masing. Bisa jadi tidak ada pembagian tugas secara tegas, tetapi semua
mengambil peran sesuai kebutuhan. Ada yang ikut strika, ada juga yang ambil
jemuran atau ada juga jajakan jualan dst dst. Keluarga kecil itu telah
dibimbing oleh alam untuk bisa mengatasi masalah mereka sendiri. Persoalan
kehidupan itu telah mampu membuat mereka lebih solid, lebih bekerja sama. Dia
merantau ke Jayapura. Dia mampu kuliah di sana dengan biaya yang dia cari
sendiri. Memang tidak mudah. Tetapi ia
bisa. Barulah setelah Bahlil bisa jadi Ketua Senat di Universitasnya, barulah
ia sadar bahwa ia sebenarnya mempunyai kemampuan luar biasa. Sejak itu Dia bertekat untuk menghentikan Kemiskinan yang
menggelutinya. Dia berhasil, dan malah jadi Pimpinan perusahaan dengan gaji 35
juta perbulan. Pencapaian yang luar biasa. Sejak itu keberhasilan demi
keberhasilan terus menyertainya. Hingga ia kini jadi Menteri Negara.
Setiap Asa Bertabur Nikmat
Tokoh kedua, yakni Dahlan Iskan. Bagaimana Dahlan
Iskan menghentikan Kemiskinannya? Juga
tidak kalah menariknya. Ia adalah bahagian warga tergolong miskin dan sangat
miskin, terhitung sejak ia lahir hingga berkeluarga dan bekerja menjadi
reporter surat kabar Lokal di Samarinda.
Tidak hanya itu Dia juga di DO dari
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang, Samarinda dan juga dari
Universitas 17 Agustus, Samarinda di tahun 1975. Baginya itu adalah sesuatu yang biasa saja.
Masalahnya dia melihat peluang pada saat yang tidak tepat. Jadi harus ada yang
dikorbankan. Namun demikian pada masa-masa itu, adalah masa-masa kehidupan
Koran Kampus, atau Koran yang diterbitkan oleh para Mahasiswa “menarik” dan berkembang. Koran Kampus dan
Koran Nasional saling sinergis, rakyat menyukainya. Koran kampus bisa
memberikan mereka, honor dan juga nama. Apalagi pada tahun-tahun 1975 an itu,
para mahasiswa lagi getol-getolnya mengkritisi Orde Baru. Masih ingat Malari
1974? Peristiwa Malari (Malapetaka
Limabelas Januari) peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang
terjadi pada 15 Januari 1974. Protes mahasiswa atas kehidupan susah serta
pemerintahan yang sangat tergantung dengan Modal Asing. Ternyata
tulisan-tulisan Dahlan Iskan cukup banyak yang meminatinya. Tahun 1976, dia berhasil
bergabung dengan Tempo Group dan kembali ke Surabaya. Sejak itu, ia terus
mencetak keberhasilan demi keberhasilan. Kemiskinan telah mengasahnya menjadi
seorang anak muda yang tahan banting. Kemiskinna telah menempanya menjadi sesuatu
kekuatan yang luar biasa. Sesuatu yang bisa menujukkan bahwa ia sudah terasah
dari “sananya”. Ia mampu menjadi penulis hebat dengan jabatan Peminpin Redaksi
Jawa Pos. Ia juga mampu mengangkat Koran Jawa Pos yang tadinya hampir Kolaps
dengan hanya 6000 eksemplar perhari menjadi 300 ribu eksemplar per hari. Ia
mampu menjadi pengusaha yang kantornya saja bisa dia bangun sebagai Kantor
termegah di Jawa Timur. Kariernya terus
melambung selepas menjabat sebagai Pemimpin Surat Kabar Jawa Pos (1982-2005);
kemudian Mendirikan Stasiun Televisi Lokal JTV (2002); menjadi Komisaris PT
Fangbian Iskan Corporindo (FIC) (2009) dan oleh presiden SBY diangkat menjadi
Direktur Utama PLN (2009-2011) dan kemudian menjadi Menteri Badan Usaha Milik
Negara (2011 – 2014).
Ya Menurut Gede Prama,
setiap orang lahir bersama peluangnya. Namun sebenarnya, kalau kita jeli belum tentu setiap orang peduli terhadap
peluang. Banyak pula diantara kita yang tidak sempat berpikir tentang peluang
itu sendiri. Umumnya kita menerima saja ritme kehidupan itu, terserah ia mau
dibawa kemana. Tetapi sudah tepatkah sipat seperti itu ? Kalau hidup sudah tidak lagi pernah
dievaluasi, maka sebenarnya ritme
seperti itu tidak ada bedanya dengan ritme kehidupan hewani. Ya, hidup adalah
hari ini, persoalan besok itu soal lain lagi. Atau kelewat peduli seperti kata WS Rendra, “ Kemarin- esok adalah hari ini “.
Atau apakah anda tidak percaya bahwa segala sesuatunya itu telah
sesuai dengan desain sang pencipta ?
Mereka yang mempunyai paham optimis,
meyakini bahwa peluang sebenarnya selalu ada dan akan ada. Masalahnya
peluang itu sering muncul tidak persis
seperti yang kita asumsikan. Kalaupun ia datang, kondisinya tidak ideal
sebagaimana yang diharapkan. Katakan anda dari Bandung, tepatnya dari Cimahi
mau ke Jakarta dan inginnya lewat Puncak. Tetapi setiap Bis yang anda stop,
selalu penuh dan mereka tak mau membawa anda. Sementara pada waktu yang
bersamaan dan malah hampir setiap saat selalu ada Angkutan Kota dari Cimahi ke
Cianjur, dan umumnya selalu saja tersedia tempat kosong. Kalau saja anda mau,
anda bisa naik itu; dan dari Cianjur bisa diteruskan oleh Angkot Cianjur- Bogor dan seterusnya Bisnonstop
Bogor – Jakarta.
Sesungguhnya, peluang itu sebenarnya selalu ada; hanya kitalah yang tidak
persis mengenalnya atau kalaupun ia datang wujutnya tidak seperti yang kita
persepsikan. Untuk selalu mampu mengambil peluang itu, dibutuhkan talenta dan
kesediaan untuk berubah. Hal seperti
ini, sulit untuk bisa diterima oleh setiap orang. Orang umumnya tidak mau kalau
suatu perubahan itu, berlangsung dengan ritme yang berbeda. Orang cenderung
ingin sesuatu yang biasa atau yang lazim serta dapat diperediksi secara jelas.
Sangat sulit dibayangkan seseorang yang telah belasan tahun menekuni usaha atau
kariernya untuk kemudian merubah arah serta memulainya dari posisi lebih bawah
lagi; padahal secara sadar ia tahu
persis kesempatannya di tempat lama sudah
dapat dikatakan pupus sama sekali.
[1] Gede Prama adalah seorang penulis, pembicara, dan motivator . Ia
pernah belajar di Lancaster, Inggris serta Fontainebleau, Prancis. Ia pernah
menjadi CEO di dunia korporasi pada usia 38 tahun.
No comments:
Post a Comment