Oleh
Nirwan Ahmad Arsuka
Jika
bangsa adalah sebuah tubuh, maka pengetahuan-dalam pengertiannya yang paling
luas-adalah oksigen yang menentukan kesehatan dan keutuhan bangsa tersebut. Buku-buku
yang beredar, dan musik yang menjalar (dan itu bukan hanya musik Bob Dylan yang
tahun lalu mendapat Hadiah Nobel untuk Sastra), mungkin bisa dilihat sebagai
hemoglobin yang mengikat oksigen pengetahuan itu. Pustaka yang bergerak memburu
pembaca bisa dilihat sebagai sel-sel darah merah yang mencoba mengedarkan
oksigen itu ke bagian-bagian tubuh, termasuk yang paling jauh dari jantung.
Menyamakan
antara relawan pustaka dan sel darah merah ini mungkin terlalu menyederhanakan
banyak hal, dan karena itu bisa menyesatkan. Maklum, analogi ini dibuat oleh
mahasiswa kedokteran yang gagal meneruskan kuliah karena terdeteksi mengidap
lemah warna merah dan buta warna hijau. Tapi, mereka yang buta warna pun,
bahkan buta total seperti Helen Keller, bisa melihat jelas betapa pengetahuan
baru itu bisa benar-benar hadir bagai oksigen yang memungkinkan produksi energi
yang sangat penting bagi kehidupan.
Memburu pembaca Sekitar 2.000 meter dari
markas Noken Pustaka Papua di Pasirputih, Manokwari, ada satu kampung yang
diisi para pendatang dari satu sub-suku Gunung Arfak. Ketika saya tiba di
Manokwari, kampung itu masih disebut Kampung Vietnam. Permukiman dan penduduk
kampung ini memang tampak lebih asing dan tertinggal dibandingkan tetangganya
yang hanya berjarak hampir 1.000 meter.
Sekalipun
ada sekolah gratis di wilayah itu, anak-anak perempuan di Kampung Vietnam
dilarang bersekolah. Relawan Noken Pustaka berupaya mendatangi kampung itu
membawa bacaan gratis dengan harapan buku-buku tersebut akan membantu anak-anak
perempuan itu membangun kemampuan baca tulis. Anak-anak itu pun makin banyak
yang bersemangat belajar karena mereka tahu, sekali mereka bisa membaca, mereka
akan dapat membujuk bahkan mendesak orangtua mereka agar mereka diperbolehkan
bersekolah. Di tangan anak-anak perempuan itu, buku menjadi senjata untuk
membebaskan diri dari kurungan keluarga.
Beberapa
puluh kilometer dari Kampung Vietnam, ada seorang kepala sekolah dari keluarga
kepala suku yang agak kesal ketika rombongan Pustaka Bergerak Papua Barat
datang mendadak tanpa pemberitahuan. Ia menyesali tak dapat menyuguhkan yang
terbaik kepada rombongan, yang terdiri dari “Si Belang Kuda Pustaka”, Agus Mandowen
si pemanggul noken, dan Anand Yunanto si pengendara “Motor 3 Roda Noken”.
Seandainya pak kepala sekolah diberi tahu lebih awal, ia akan dengan senang
hati mengajak warganya berburu rusa dan lobster untuk menjamu rombongan pustaka
bergerak itu.
Memang
yang dibawa bukanlah buku baru semua, tapi buat pak kepala sekolah, buku-buku
itu adalah barang amat langka yang bisa memperbaiki kehidupan warganya. Pak
kepala sekolah yang sempat mengenyam pendidikan formal itu bisa bercerita
panjang lebar bagaimana buku telah mengubah hidupnya, dan ia juga ingin
kehidupan warganya meningkat lebih baik.
Sementara
bagi Asnan Khaerul dan para relawan Kandayan Pustaka yang bergerak di
perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, buku-buku sumbangan adalah senjata
untuk melindungi dan memperbaiki kehidupan masyarakat asli dan para pendatang
yang banyak bekerja di perkebunan. Godaan untuk berpindah ke wilayah seberang
perbatasan dibentangkan setiap hari di depan mata. Tapi, para relawan itu, dan
warga yang mereka dampingi, rupanya masih punya ikatan emosional kuat dengan
tanah air bernama Indonesia. Dan, yang mereka harapkan agar bisa menangkal
godaan dan merawat ikatan emosional itu hanyalah sumbangan buku, hemoglobin
yang mengikat oksigen. Iswan Kinsank, relawan Kandayan Pustaka Kalimantan
Utara, menyeru: “Kirimlah buku agar NKRI tetap utuh.”
Buat
orang-orang ini, pengetahuan yang diikat dalam teks, atau dalam nada, sungguh
mirip oksigen yang diikat dalam hemoglobin: sumber kekuatan untuk membakar
metabolisme, membangkitkan daya hidup mengolah dunia. Jika buku dan aneka karya
yang mengikat pengetahuan segar tak banyak beredar, maka sebuah bangsa bisa
tampak seperti tubuh yang mengidap anemia. Kelesuan metabolisme yang kadang
dirasakan dalam tubuh bangsa kita ini disebabkan bukan hanya oleh belum
banyaknya sel darah merah, juga oleh kurang bagusnya pembuluh nadi. Banyak
wilayah kita yang belum tertembus oleh jalan, dan para relawan jadi seperti sel
darah merah yang harus menumbuhkan kaki sendiri dan tak semata mengandalkan
dorongan dari jantung agar bisa bergerak mencapai pembaca yang nyaris tak
terjangkau.
Darah dan sumsum Pengembangan jaringan pembuluh
nadi yang luas dan lancar adalah harapan besar yang juga ditunggu oleh Pustaka
Bergerak. Disebut harapan besar karena untuk saat ini biaya pengiriman buku
dari Jakarta ke Intan Jaya, Papua, misalnya, bisa demikian tinggi sehingga
nilainya lebih mahal daripada harga buku.
Selain
menyiasati sistem distribusi, membangun jalur, dan menerobos rintangan yang
menghalangi jaringan pembuluh nadi, kita juga punya tantangan dalam memproduksi
hemoglobin yang baik. Jika pustaka bergerak dinilai dari mobilitasnya memburu
pembaca, pustaka tak bergerak dinilai dari kemampuannya membangun koleksi yang
bagus dan unik. Jika relawan pustaka bergerak bisa dilihat sebagai sel darah
merah pengangkut hemoglobin, maka pekerja pustaka tak bergerak yang secara
sadar membangun koleksi yang segar dan kaya, menghimpun serpihan pengetahuan
yang nyaris hilang ke dalam kliping, seperti yang dilakukan HB Jassin, Pramoedya,
atau kawan-kawan di Indonesia Buku (I-Boekoe), misalnya, bisa dilihat sebagai
sel sumsum yang memproduksi hemoglobin.
Pustaka
tak bergerak yang ada di kampus-kampus dan lembaga-lembaga pengetahuan tentu
harus ditakar prestasinya bukan hanya pada kemampuannya mengoleksi buku, juga
pada kesuburannya memproduksi buku bagus, menghasilkan hemoglobin pengikat
oksigen segar yang bisa diedarkan oleh sel darah merah ke seluruh tubuh.
Oksigen
yang segar, pengetahuan yang unggul, selalu mengandung paradigma yang juga
unggul, yang paling bisa menjelaskan dan menyatukan banyak hal. Sayang sekali
bahwa masih banyak buku kita yang hanya mereproduksi paradigma lama yang sudah
kehilangan kekuatan. Buku-buku seperti ini tak cukup banyak mengandung oksigen
segar dan lebih banyak menyimpan karbon dioksida, sisa-sisa metabolisme, produk
pandangan dunia lama, yang jika menumpuk dalam jumlah besar akan merusak
kesehatan tubuh.
Oksigen
paling segar, pengetahuan paling ampuh, yang membentuk kenyataan dunia saat
ini, datang dari nalar kritis yang telah meledakkan revolusi ilmu dan
teknologi. Memang, ada yang tampak mencemaskan dari revolusi ilmu dan teknologi
saat ini. Nalar kritis yang habis-habisan meneliti dirinya dan semesta ini
tampak seperti mempereteli segala yang dulu mulia yang disematkan pada dirinya,
dan menemukan bahwa nalar kritis itu tak lain dari algoritme saja.
Tarian semesta Saya juga pernah, lebih 10
tahun yang lalu, menganggap bahwa alam semesta seisinya ini adalah sejenis
algoritme, sebuah “Labirin Berujung Tunggal” yang tujuannya adalah pengekalan
dan penyempurnaan diri sistem. Anggapan ini masih bertahan sampai sekarang,
tapi ketimbang melihat seluruh kenyataan ini sebagai algoritme semesta data
yang dingin, ada unsur “api” yang membuat seluruh kenyataan semesta jadi
semacam maha-sastra yang terus berproses, karya setengah jadi yang merindukan
mitra pencipta untuk melampaui diri.
Dibantu
perangkat deteksi nuklir, ilmu-ilmu kehidupan mutakhir telah mengubah seluruh
tubuh organisme, termasuk manusia, menjadi draf teks sastra yang kaya dan
menantang. Kalimat-kalimat yang kurang bagus dalam teks gen yang diwarisi dari
leluhur bisa digunting dan dibuang. Kalimat-kalimat yang lebih bagus bisa saja
dimasukkan ke dalam draf teks tersebut.
Ilmu-ilmu
alam seperti kosmologi dan fisika nuklir yang dibimbing oleh matematika
pelan-pelan juga bekerja dan bermimpi meringkas semesta raya ini menjadi
sebaris rumus, selarik puisi. Puisi semesta raya ini mungkin saja juga perlu
disunting, mungkin juga tidak. Tapi, cukup jelas bahwa puisi semesta itu
menunggu sekaligus memberikan jalan bagi penciptaan puisi semesta lainnya.
Pemahaman
tentang penyastraan semesta ini tentu juga mencakup pemahaman tentang hakikat
sastra yang bertaut sangat erat dengan musik, tentang sejarah puisi yang
berasal dari nyanyian, tentang lirik yang berasal dari lyre. Pemahaman seperti
ini bukan hanya mengubah seluruh rasa cemas menjadi takjub, ia juga mengundang
kita untuk ikut menari bersama dalam tarian semesta raya.
Nirwan
Ahmad Arsuka, Pendiri Pustaka Bergerak (
Sumber : Kompas 16 Februari 2017)