Penulis Sukses, Lima Syarat Penulis Sukses Diajarkan Kompasiana
Satu semester menjadi ‘mahasiswa’ di ‘Universitas’
Kompasiana memberi pelajaran berharga kepenulisan. Boleh jadi Kompasiana tak
pernah membeberkan dalam satu artikel tentang itu, tetapi karena setiap
Kompasianer adalah ‘mahasiswa’ sekaligus ‘dosen’, maka setiap tulisan tentang
kepenulisan adalah bagian dari matakuliah di ‘Kampus’ ini. Setidaknya
pengalaman menulis, berkomentar, dan berteman di Kompasiana memberi pelajaran
berharga cara menulis yang baik.
Ada 5 syarat yang ‘diajarkan’ oleh Kompasiana agar seseorang
bisa menjadi penulis sukses, yaitu:
Pertama, Ketrampilan Menulis
Kegiatan tulis-menulis tentu saja mensyaratkan
ketrampilan menulis. Bagaimana mungkin tulisan bisa dikatakan baik tanpa
ketrampilan menulis, yaitu ketrampilan untuk mengungkapkan pikiran dengan
untaian kata, rangkaian kalimat, dan susunan paragraph dalam tulisan. Hanya
saja yang perlu diketahui dan diyakini oleh setiap orang adalah bahwa
ketrampilan menulis tidak muncul tiba-tiba. Ketrampilan tersebut harus dibangun
dan ditumbuhkembangkan dengan aktifitas menulis yang tak mengenal bosan dan
lelah.
Ada pula kekuatan bakat di sana, tetapi sekedar
mengandalkan bakat tak cukup. Bakat tak pernah bisa mengalahkan latihan, namun
latihan disertai bakat akan membuat seseorang menjadi “GREAT”, Sosok Penulis
Besar. Ketrampilan menulis itu buah dari latihan terus-menerus, bukan
diwariskan, apalagi turun dari langit.
Kedua, Pengalaman
Jangan harap bisa menulis dengan baik jika tak punya
pengalaman, namun siapa sih orang yang tidak punya pengalaman? Setiap orang
hidup memiliki pengalaman yang unik, berbeda dari orang lain. Keunikan itulah
kekuatan setiap orang untuk melahirkan tulisan yang baik. Pengalaman adalah
sisi kehidupan yang tak terbatas. Ada pengalaman bergaul, pengalaman spiritual,
pengalaman berkelana, pengalaman hukum, politik, bahkan cinta dan horor, serta
masih ada banyak lagi penglaman lain yang kesemuanya adalah sumber inspirasi
tulisan.
Banyak orang mengatakan bahwa pengalamannya banyak,
tetapi tak bisa menuliskannya. Itulah sebabnya dia harus mulai menulis, bahkan
bisa jadi harus berawal dari sebuah kata yang paling buruk, lucu, dan aneh.
Tidak apa-apa, memang seperti itulah yang benar. Lambat laun akan mudah
menuangkan alam pikiran yang sangat hirup pikuk menjadi alam tulisan yang indah
dan bermanfaat.
Ketiga, Pengetahuan Mendalam
Sebelum dan awal-awal bergabung di Kompasiana, saya
sangat percaya diri bahwa saya bisa melahirkan tulisan yang baik. Satu demi
satu tulisan saya unggah, dan saya baru tahu bahwa tulisan saya tidak
berkualitas atau lebih tepatnya buruk. Ternyata selama ini saya hanya bermimpi
bisa menulis dengan baik, tetapi tulisan saya ‘dangkal’. Penyebabnya setelah
saya bandingkan dengan tulisan-tulisan bagus di Kompasiana adalah karena saya
tidak cukup pengetehuan mendalam tentang topic yang saya tulis. Dari situlah saya
paham maksud teori dan tips bahwa penulis itu harus spesialis di bidangnya,
meskipun saya sampai saat ini tidak membenarkannya 100%, karena saya berfikir
bahwa seseorang bisa menjadi multi spesialis jika mau dan disiplin kuat
membangunnya. Dari situ pula timbul dorongan untuk membaca banyak referensi dan
tulisan agar memiliki pengetahuan yang dalam sebagai bagian dari upaya
melahirkan tulisan yang bagus.
Keempat, Wawasan Luas
Wawasan berbeda dengan pengalaman dan pengetahuan.
Setidaknya begitulah menurut pendapat saya, karena wawasan adalah hasil sintesa
pengalaman dan pengetahuan menjadi kesimpulan-kesimpulan. Daya kritis dan
kejelian seseorang menjadi kunci agar wawasannya luas. Oleh karenanya,
kecerdasan seseorang menjadi fondasi wawasannya. Penulis-penulis sukses
didominasi orang-orang cerdas.
Namun Anda dan saya yang tidak begitu cerdas tak usah
khawatir tidak bisa membuat Tulisan bagus dan menjadi penulis sukses, karena
kecerdasan itu sebelas duabelas dengan bakat atau talenta. Latihan-latihan mensintesa
dengan sering-sering berfikir dan menulis akan membuat kecerdasan kita terus
tumbuh.
Paling-paling kita hanya akan tertinggal dengan
orang-orang cerdas itu jika mereka melakukan hal yang sama banyak melakukan
latihan seperti kita. Kalau sudah demikian, apa boleh buat, mereka akan berada
di depan kita. Namun orang cerdas yang rajin seperti itu tidak banyak. Mereka
biasanya merasa cukup dengan kecerdasannya yang melebihi kebanyakan orang. Jadi
kita masih berpeluang menjadi penulis handal. Amin.
Kelima, Popularitas
Syarat kelima ini mirip dengan syarat pertama, harus
dibangun. Memang benar ada banyak kasus beberapa penulis yang alih profesi,
dari sosok terkenal non penulis menjadi penulis. Contoh dekatnya adalah Jusuf
Kalla, Mantan Wapres. Kariernya di dunia bisnis dan politik telah masyhur, jika
kemudian beliau menulis, sebagaimana sudah dilakukannya di Kompasiana, maka
peluang untuk sukses sebagai penulis sangat besar. Popularitas memudahkannya
untuk berhasil menjadi penulis, tentu saja jika syarat nomor satu terpenuhi.
Lantas bagaimana dengan orang-orang tidak terkenal
seperti saya? Mau tak mau harus terus menulis dan menulis dengan konsisten dan
menjadi yang lebih baik. Tulisan-tulisan yang semakin lama pasti semakin baik
itu, -sekali lagi saya menyebut “semakin lama tulisan kita pasti semakin baik”-
maka kitapun akan dikenal oleh banyak orang, dan nama kita akan semakin
populer. Setelah itu, setelah nama kita semakin dikenal, maka setiap tulisan
kita akan dipersepsi banyak orang sebagai tulisan yang layak dibaca karena
(paling tidak dianggap) memiliki kekuatan dan bermanfaat bagi orang lain.
Jadi, yuk terus menulis, di Social Blog Kompasiana dan di
forum lain tanpa lelah. Carilah 1001 alasan bahwa menulis itu mutlak harus
dilakukan. Menulis itu 1) ibadah, 2) amal saleh, 3) ciri berperadaban, 4)
aktualisasi diri, 5) asyik, 6) warisan abadi, 7) terapi kesehatan, 8) cara
paling mudah menjadi pribadi bermanfaat bagi orang lain, 9) rekreasi, 10) jati
diri, dan 11) peluang rejeki. Anda bisa menambahkan 990 alasan yang lain agar
benar-benar mencapai 1001 alasan untuk terus menulis. SILAKAN!