May 14, 2018

Aroma Doa Bilal Jawad


Ilustrasi oleh  Anton Susanto
Oleh Raudal Tanjung Banua

Apakah doa punya aroma? Setiap kali pertanyaan ini datang menggoda, aku akan teringat seorang tukang doa yang setia di masa kecilku. Entah mengapa, tiap kali mengingatnya, lafaz doa serasa bangkit bersama aroma yang membubung dari hidung ke dalam batin. Adalah Bilal Jawad, lelaki setengah baya yang sudah dianggap sebagai tukang doa keluarga di kampungku lantaran kesetiaannya mendatangi kami pada hari baik bulan baik. Ya, sepekan menjelang bulan puasa, Bilal Jawad akan datang ke kampung kami. Ia tiba selepas siang, dan kembali semalam-malam hari ke rumahnya di kampung lereng bukit. Sebenarnya dia berasal dari kampung kami juga, tetapi menikah di kampung sebelah. Bahkan, ia termasuk kerabat ayahku, karena itu aku dan adikku memanggilnya Pak Uwo.
Di kampung istrinya, ia dipercaya sebagai bilal. Suaranya lengking dan panjang, pas belaka dengan keadaan kampung yang berbukit-bukit. Karena itu, tugasnya sebagai muazin tak tergantikan. Nah, di antara itu, Bilal Jawad punya tugas yang juga tak tergantikan di kampung kami: memimpin doa menyambut Ramadhan!
Sudah menjadi kebiasaan di kampung kami menyambut Ramadhan dengan cara menggelar doa di tiap rumah. Ada beberapa tukang doa yang bisa kami panggil, tetapi yang paling akrab Bilal Jawad. Tinggal menyesuaikan jadwal, maka setiap rumah mendapat giliran didatanginya. Kami akan memasak yang enak-enak: rendang, gulai ayam, goreng itik, kalio jengkol, ikan panggang. Semua itu dihidangkan sehabis berdoa.
Bilal Jawad mencatat jadwal tahunan itu dengan rapi, buktinya tak sekalipun ia alpa atau lupa. Boleh jadi karena ia sekalian berziarah ke makam orangtua, menjenguk kerabat dan menengok rumah kelahirannya. Di rumah yang ditempati keponakannya itulah ia beristirahat, sembari menunggu panggilan memimpin doa.
Ia akan datang ke rumah orang yang memanggilnya dengan naik sepeda ontel. Ia kenakan peci beludru, celana panjang katun serta kemeja lengan panjang. Meski bukan bahan yang mahal, tetapi rapi terawat. Dan, lebih dari itu menjadi penampilannya yang khas.
Dia biasa mengunjuk salam sejak dari halaman disertai dentang lonceng sepeda tiga kali. Bila salam berjawab salam, maka naiklah ia ke atas rumah, duduk di tikar pandan, tempat ia bersiap memimpin doa.
Ia akan bertanya kepada si tuan rumah, apa-apa hajat hendak disampaikan, buat siapa doa dikirimkan. Tuan rumah akan berkata, ini doa hari baik bulan baik, semogalah lancar segala ibadah, didatangkan berkah bagi seisi rumah. Terucap pula nama-nama yang sudah tiada, almarhum-almarhumah, jika sempit kuburnya mohon lapangkan, jika gelap minta terangkan. Lalu harapan supaya anak-anak lancar bersekolah, padi di sawah jauh dari hama, mereka yang di rantau bisa pulang berlebaran tahun ini dan berbagai pinta lagi.
Demikian halnya Bilal Jawad, ia sangat bertanggung jawab. Ia menyambut permintaan dan harapan itu dengan air muka yang yakin. Katanya, Allah Azza Wajalah menyuruh hamba berdoa, dan Dialah Maha Pengabul Segala Pinta. Si tuan rumah serentak menyambut, ”Aaamiiiin..!!” bahkan sebelum doa dimulai.
Bilal Jawad membawa kemenyan sendiri di dalam saku celananya—bentuk tanggung jawabnya yang lain. Jika tuan rumah lupa atau sedang tak punya, ia akan mengeluarkan kemenyan simpanannya itu tanpa diminta. Ke dalam bara api di atas loyang, kemenyan dibubuhkan, maka membubunglah asapnya yang wangi mengiringi doa ke langit tinggi.
Bacaan doa Bilal Jawad sangat fasih. Sayup dan terang ganti-berganti, seolah kata-kata suci itu telah terbang menjauh meninggalkan kami yang duduk bersila, tetapi lalu kembali lagi ketika lafaznya dikeraskan. Doa yang dirapalnya terbilang panjang dan lengkap, ibaratnya dari A sampai Z. Setengah bergurau, orang kampungku biasa berkata, ”Berdoa bersama Bilal Jawad serasa doa setahun diringkas satu hari, semua permintaan ada.”
Setelah doa selesai, dilanjutkan makan bersama. Seketika denting piring dan gelas menggantikan keheningan. Namun, Bilal Jawad makan ala kadarnya, sebab ia akan makan di tiap rumah. Jika sehari ia datangi empat atau lima rumah, maka berapa piring makanan yang harus ia habiskan? Karena itu, ia mengatur porsinya sedemikian rupa, sebab jangan sampai pula di satu rumah ia tak makan. Bisa kecil hati si tuan rumah. Membesarkan hati orang lain itu baik. Toh sisa makanan enak-enak itu selanjutnya akan kami gasak adik-beradik.
Sebelum turun jenjang, ayah-ibu kami biasa menyelipkan lembaran uang ke tangan Bilal Jawad, juga ala kadarnya. Ia ucapkan terima kasih sambil memasukkan uang itu ke dalam kantong celananya, kantong yang sama tempat ia menyimpan kemenyan.
Konon, uang yang disimpan di kantong celana Bilal Jawad bukan saja ikut berubah wangi, tetapi juga dianggap membawa berkah. Entah siapa yang memulainya. Boleh jadi awalnya dari gurauan, tetapi lambat-laun membesar dan diyakini, terutama kalangan anak-anak. Seperti kami yang selalu membayangkan aroma uang yang keluar dari sakunya. Kami senang mengendus-endus uang kertas yang kami miliki. Mana tahu beraroma saku Pak Uwo.
Maka, ketika tercium bau wangi, aku berteriak, ”Uang Bilal Jawad!”
”Uang Pak Uwo!” kata adikku membetulkan kelancanganku.
”Ya, Pak Uwo Jawad,” ulangku.
Kami berebut menciumnya. Namun, ternyata bau rokok pertanda uang itu dari saku ayah. Atau bau rampai pertanda ibu menyimpan uang itu di balik bantal. Ini menambah rasa penasaran kami untuk memburu uang dari saku sang Bilal.
Sepanjang petang hingga malam, Bilal Jawad bisa berdoa di atas tiga hingga lima rumah. Ia akan diberitahu jadwal berdoa terlebih dahulu oleh keluarga yang mengundangnya. Bilamana tiba giliran kami mendoa, maka tugasku memberitahu Pak Uwo.
Lebih sering ia kudapatkan di belakang berkeliling melihat pohon kelapa peninggalan orangtuanya. Kadang membersihkan beluntas, membetulkan pancang kedondong, mengasah pisau, atau memperbaiki payung. Itu cara dia mengisi waktu. Kalau aku datang, ia akan mengusap kepalaku dan kurasakan ada berkah terselubung menaiki puncak ubunku.
Ia bertanya bagaimana sekolahku. Rasa simpatinya membuatku bisa tanpa beban bercerita bahwa aku senang pergi ke muara tempat berlabuh kapal ikan. Aku memungut ikan yang tercecer, meski Paman Markis—Pak Uwo-ku yang lain—sering memarahiku.
”Tujuan Paman Markis-mu baik,” katanya. ”Kalau kau sudah merasakan uang dari menjual ikan, kau tak akan mau sekolah. Kau akan mencari ikan terus, mencari uang terus.”
Nasihatnya sejuk. Bau ikan di muara tiba-tiba terasa menusuk hidungku, membuatku tak mau lagi ke muara. Padahal, sebelumnya Paman Markis selalu gagal mencegahku.
Suatu hari menjelang bulan puasa, entah tahun berapa dari masa kanakku, aku menjemput Pak Uwo Jawad lagi. Kali itu aku menemukannya sudah berpakaian ”dinas” dan bersiap menuntun sepedanya. Karena itu, ia mengajakku sekalian boncengan.
Aku bilang ibu pasti belum siap. ”Tadi kata ibu berdoanya habis magrib, Pak Uwo. Sekarang gulai ibu belum masak.”
Pak Uwo tersenyum. ”Tak mengapa, kita berdoa dulu ke rumah yang lain. Kau, kan, sudah memakai celana panjang,” katanya.
Memang, bila menjemputnya aku selalu disuruh ibu berpakaian rapi, bahkan memakai peci. Kata ibu, selain menghormati orang yang akan memimpin doa, itu bisa membawa berkah. Dan, ibu benar. Buktinya aku diajak Pak Uwo berdoa ke rumah yang lain.
Kami melaju di atas sepedanya menuju rumah Etek Marianis. Sepanjang jalan aku menghirup aroma yang wangi dari punggung baju Pak Uwo. Jiwaku serasa membubung. Kucari-cari aroma yang pernah hinggap di hidungku. Tetap saja aku merasa tak ada aroma yang menyamainya. Itu campuran menyan, asap, bahkan keringat di lengan baju yang bersitahan mengulurkan telapak tangan ke langit.
Belum habis rasa senangku menghirup aroma punggungnya yang agak bungkuk, laki-laki itu sudah menghentikan laju sepeda. Ia bunyikan lonceng tiga kali.
Teng! Teng! Teng!
Dari halaman rumah Etek Marianis yang luas, ia sebar salam ke arah jenjang. Etek Marianis tersenyum manis menyambut kami. Dia sudah tahu bahwa aku anak Si Anu dan ponakan Bilal Jawad, jadi tak ada pertanyaan apa-apa saat ia melihatku.
Kami langsung masuk dan duduk di tikar pandan. Seperti biasa, sebelum berdoa, Etek Marianis menyebut harapannya. Selain menyambut bulan puasa dan mengirim doa untuk leluhur, ia juga berharap suaminya yang masih di Malaysia bisa pulang sebelum Lebaran.
Aku ucapkan ”Aaamiiinnn…” dengan suara keras, seolah menyatakan bahwa diriku ada bersama pemimpin doa. Pak Uwo-ku!
Karena Etek Marianis tak punya kemenyan, maka Pak Uwo mengeluarkan kemenyan dari sakunya. Kemudian ia taburkan ke atas bara di loyang. Dan, begitu bara ditiup, asap membubungkan aroma yang tak terkatakan. Urat sarafku berdenyar. Dadaku penuh. Waktu terasa singkat. Mataku terpejam, dalam, dalam….
Aku baru tersadar ketika seisi rumah bilang ”Aamiiiin…” dan tuan rumah mempersilakan kami makan.
Pak Uwo dipersilakan menyanduk nasi lebih dulu. Nasi putih dari beras baru, wangi dan pulen. Pak Uwo menaruh sepotong ikan kakap di piringku. ”Kau suka ini, kan?” katanya.
Aku mengangguk.
”Makan yang kenyang, Kudal,” kata Etek Marianis. Gulai ikannya enak, tetapi aku malu-malu, apalagi Pak Uwo makannya sedikit dan mencuci tangan lebih dulu.
”Di rumah nanti juga mendoa, Tek,” kataku.
”O, mintalah supaya cita-citamu tercapai, Nak,” kata Etek Marianis lagi.
Selesai makan, kami lalu pamit, pindah ke rumah yang lain.
Dan, begitu pula: berdoa, makan, pergi.
Hanya di rumah yang ketiga, si tuan rumah menganggap aku anak Pak Uwo. Dia memang orang baru di kampungku, meskipun beberapa kali diundang berceramah dan mengisi pengajian di kecamatan. Namanya Baihaqi, usianya separuh usia Pak Uwo. Ia orang kota yang menikah dengan perempuan kampung kami, Maryanti, yang pernah kuliah di kota provinsi. Wajar Om Baihaqi tak tahu siapa aku, bahkan Uni Mar pun lupa padaku. Mereka baru pindah setelah ibu Uni Mar meninggal menyusul sang ayah, kemudian mereka melanjutkan usaha keluarga membuat kerupuk ikan.
Di rumah ini pula, untuk pertama kalinya aku bertemu tuan rumah yang menolak membakar kemenyan, meskipun Pak Uwo bilang, ”Ini sekadar harum-haruman.”
Baihaqi bergeming, sambil bergumam, ”Bagaimanapun, kami takut bidah, Engku.”
Pak Uwo hanya tersenyum, dan tentu saja doa tetap lancar. Entah dalam hatinya ada yang mengganjal, aku tak tahu. Untuk mencairkan suasana, selesai berdoa, Om Baihaqi memberi kami kerupuk ikan. Sebelum melaju, kerupuk itu kami gantung di setang sepeda. Lalu Pak Uwo bersenandung sepanjang jalan, yang kelak kuketahui itu selawat nabi.
Rumahku yang keempat didatangi Pak Uwo hari itu. Sebelum membunyikan lonceng sepeda, ia rogoh saku bajunya. Selembar uang seribuan ia keluarkan. ”Ambil,” katanya.
Aku terkaget takjub mendapatkan uang keberuntungan langsung dari Sang Bilal. Meski bukan dari saku celana tempat kemenyannya tersimpan, tetapi apa bedanya? Seluruh pakaian dan tubuh pendoa seperti Bilal Jawad bagiku sama diselubungi aroma doa.
Aroma itulah yang selalu menggodaku di rantau orang, setiap memasuki bulan Ramadhan. Ya, sudah bertahun-tahun aku hidup merantau, sudah banyak aroma kucium di tengah doa-doa yang dipanjatkan. Aroma setanggi, harum lilin, hio, dupa, dan bunga-bunga. Di antara semua itu, aroma doa Bilal Jawad tak pernah padam, tak lampus diterkam waktu.
Karena itu, aku bergembira kali ini sebab berkesempatan pulang menyambut bulan puasa, sekalian menjenguk ayah-ibuku yang sudah tua. Aku akan berdoa bersama mereka, dipimpin tukang doa kami yang istimewa.
Namun, betapa aku kecewa mendengar kabar dari adikku. ”Sudah lama Pak Uwo tak memimpin doa,” katanya.
”Kenapa begitu?” tanyaku heran. ”Kurasa ia masih kuat menggayuh sepeda…”
Adikku menjelaskan bahwa Bilal Jawad sudah tidak diperkenankan membakar kemenyan saat berdoa setelah Ustaz Baihaqi diangkat jadi imam-khatib yang baru di kampungku. Bagi Bilal Jawad soalnya tentu bukan sebatas larangan itu, tetapi menyangkut harga diri. Entah cara yang ia terima menyinggung perasaan, merasa dipaksa atau yang lain.
Yang jelas sejak itu ia tersisih atau menyisihkan diri di kampung lereng bukit. Namun, aneh, mendengar kabar miring itu, lafaz dan aroma doa Bilal Jawad tiba-tiba membubung di pucuk hidung dan menyusup ke dalam batinku. Sejuk mewangi. Menyepuh langit tinggi.

Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 1975. Buku cerpennya antara lain Ziarah bagi Yang Hidup (2004) dan Parang tak Berulu (2005). Mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia di Yogyakarta.

Ilustrasi Cerpen, karya Anton Susanto, kelahiran Bandung, 17 Desember 1979. Studio Lukis Departemen Seni Murni FSRD ITB, Bandung. Pameran yang diikuti antara lain ”Banjir”, Bandung (2018) Bandung Drawing Festival (2017)
Simber : Kompas.id, 13 Mei 2018



No comments:

Post a Comment