March 28, 2022

Penulis Dari Perbatasan: Wisata Asa Merintis Jalan Ke Surga

 Penulis Dari Perbatasan: Wisata Asa Merintis Jalan Ke Surga

Melakoni rutinitas kehidupan pada hakikatnya adalah pembeda antara seorang yang berhasil dan tidak. Karenanya gampang dilihat, mereka yang sadar perlunya respon,  antisipasi, dan Ramalan Pelibatan serta evaluasi selalu akan menemukan dialektika  hidup serta akan memberi kemampuan membaca tanda-tanda alam. Sebaliknya, bisa dipastikan akan ditinggalkan kehidupannya sendiri. Kehidupan itu memang dinamis, dia bergerak sesuai hukum alam (hukum Tuhan) dan akan memberikan segalanya, selama itu dilakoni  sesuai dengan pakemnya (baca professional)  serta tidak mempertentangkannya.



Idealnya memang, gerak perubahan itu diarahkan atau disiasati agar sesuai dengan yang diinginkan, apalagi kalau hal itu bisa di komunikasikan dengan Tuhan sebagai si pemilik dari kehidupan itu sendiri. Maka keberhasilan itu bisa menjangkau dunia – ahirat. Tapi itu di ranah bathin, teori.  Para pebisnis mensiasati kehidupan mereka dengan konsep  Reenjinering, hal mana dimaksudkan bukan hanya suatu perubahan dari akumulasi perbaikan demi perbaikan “ continuous improvement “ tetapi bila perlu lebih cenderung ke arah suatu lompatan besar, guna menyesuaikan dengan perubahan itu sendiri. Yang sering terjadi, bukan saja tidak adanya usaha-usaha perbaikan dalam mensiasati kehidupan itu sendiri, akan tetapi malah sama sekali tidak pernah memikirkannya. Kondisi Inilah sebenarnya sebagai pangkal kemiskinan, yang membiarkan proses dialektika itu berhenti. Inilah penyakit yang membawa manusia menjadi hanya sekedarnya, bankrut dan melarat. Hidup tanpa memanfaatkan akal sehat, lebih lagi kalau hanya menyerahkannya saja kepada  rutinitas, inilah yang telah memperosokkan banyak orang.

Dalam lingkungan budaya kita, pakem tentang kehidupan adalah meyakini bahwa suatu cetak biru seseorang sebenarnya telah tertuang dalam suatu konsep yang disebut Takdir. Bagi banyak orang takdir adalah sesuatu yang sudah final, dan tahu tentang itu kalau ia sudah terjadi. Akan tetapi bagi sebagaian lainnya percaya bahwa konsep takdir itu seperti sebuah “ Surat Keputusan “ yang pada alinea terahirnya ada kata-kata pengecualian.

Artinya “ bilamana kelak ternyata ada satu dan lain hal, maka Surat Keputusan (Takdir) ini bisa ditinjau ulang kembali“. Dengan kata lain takdir itu sebelum terjadi masih bisa ber ubah, sesuai upaya yang tengah dilakukan. Masih terdapat klausul yang memungkinkan untuk Peninjauan Kembali. Sesuai respon yang dilakukan si pemilik kehidupan. Karena itu kehidupan sebenarnya penuh dengan rahmat, full dengandinamika, kesemuanya itu terpulang kepada usaha maupun upaya seseorang untuk merubahnya, termasuk dalam merubah nasibnya.

Sebenarnya setiap orang dipercaya akan melakoni hidupnya dengan sebaik-baiknya, artinya setiap orang mempunyai cara yang sangat mendasar tentang tata cara menjalani kehidupannya, mereka bisa memperoleh tuntunan itu dari keluarganya, dari tradisi, dari ajaran guru-guru atau Ustad atau Romonya dan dari berbagai referensi lainnya baik yang tertulis maupun yang tidak. Masalahnya ada yang berhasil tetapi banyak pula yang tidak. Kalau saja ketidak berhasilan itu dijadikan jadi cambuk untuk berbuat dengan lebih baik lagi tentu akan sangat positif, tetapi kalau kegagalan itu berlalu begitu saja dan tidak punya nilai apa-apa bagi sipemiliknya, maka hal inilah yang  jadi bahan perbincangan kita.



Mengapa manusia hilang akal atau tidak memakai akal sehatnya? Sesuai dengan fakta, manusia itu cenderung untuk melakukan sesuatu yang disenanginya, termasuk tidak melakukan apa-apa sama sekali. Padahal semestinya,manusia itu harus melakukan apa apa yang memang seharusnya dia lakukan. Sukur kalau yang dia senangi itu termasuk bagian dari yang harus dia kerjakan. Tapi sering terjadi justeru tidak pernah mempertanyakannya dan bahkan merasa tidak perlu tahu harus berbuat apa. Itulah sebenarnya yang harus dengan arif dipertanyakan. Kita harus dengan jujur mempertanyakan kehadiran kita di dalam kehidupan ini.

Psikolog mengatakan,  penyebab utamanya adalah karena kita tidak mampu mendefenisikan Tujuan hidup kita secara detail. Ketidak mauan kita mendefenisikan tujuan hidup secara detail inilah yang telah membuang dan  mematikan peran akal sehat itu. Itulah sesungguhnya kunci persoalannya. Kenapa kita tidak mau atau tidak mampu mendefinisikannya secara realistis dan detail ? Jawaban mudahnya adalah ; kita memang tidak mau karena itu akan mengikat kita sendiri. Karena dengan mendefenisikan tujuan tersebut, akan membuat kita hidup terikat, hidup bertanggung jawab. Padahal secara mendasar, orang cenderung berbuat sesuatu tanpa harus terikat dan kalau bisa tidak harus menjadi beban apalagi harus mempertanggung jawabkannya.   

Para pebisnis atau praktisi bisnis seperti Robert Kiyosaki melihat upaya mendapatkan penghasilan atau malah membuat usaha yang mampu menghasilkan uang yang baik sebenarnya tidaklah susah. Berbuat sesuatu  untuk memperoleh penghasilan yang layak atau banyak sebetulnya tidaklah sulit. Ibarat menanam pohon, kalau ada lahan, ada bibit dan ada pupuk maka prosesnya pastilah pertumbuhan. Kalau lahan sudah diolah, dikondisikan serta diberi gulma atau pupuk  dan kemudian ditanami dengan bibit yang baik maka yang terjadi adalah pertumbuhan yang wajar. Ini adalah proses alam dan ini adalah hukum Tuhan.

Tetapi anehnya, tidak semua orang mau memahami proses ini. Dan jangan lupa banyak orang yang tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Kecenderungannya adalah, mereka melakukannya tetapi tidak pernah mempertanyakan kualitasnya. Intinya banyak pekerjaan itu dilakukan hanya demi sekedar memperoleh demi kesan yang baik dan agar bisa diterima oleh lingkungannya. Kalau nanti hasilnya tidak maksimal, bagi  mereka hal seperti itu biasa saja. Sama halnya dengan kemiskinan itu sendiri. Lahir Miskin itu Takdir. Tapi hidup Miskin itu Lain Lagi. Bisa jadi anda salah jalan. Jangan panik, anda bisa cari jalan lain yang lebih baik. Miskin terjadi karena penghasilan anda tidak memadai. Anda tinggal cari cara lain untuk menambah penghasilan Anda. Anda pasti tahu caranya (?) Dan lakukan itu dengan baik. Itu saja. Sederhanakan?  

Kalau kita menangkap esensi tulisan diatas, sebenarnya  cara hidup kitalah yang bermasalah, penyebabnya karena kita tidak mendefenisikan Tujuan kita secara detail dan tidak melakukan pekerjaan kita secara professional. Selama ini kita menekuni pekerjaan itu, karena kita diberikan pekerjaan seperti itu. Dari awal kita memang tidak pernah mendesain hidup kita untuk jadi apa, dan tidak juga mendefinisikannya akan menjadi apa. Kita hanya sekedar melakoni kehidupan itu. Kita memang punya izasah dan dengan izasah itulah kita menggantungkan nasib kita entah jadi apa. Kita juga akan menerima pekerjaan apa saja. Tidak peduli apakah pekerjaan itu sesuai dengan keinginan kita, apakah upahnya bias menghidupi kita? Yang ada hanyalah melakoni hidup itu dengan rutinas yang ada. Kalau lingkungannya rajin, kita jadi rajin dan sebaliknya.

Kondisi lain yang kerap muncul adalah ketika kita sadar semuanya sudah terlanjur sangat jauh. Katakanlah umur kita sudah diambang sore; ada semacam kecemasan bahwa kita bakal tidak mampu lagi untuk mengusung cita-cita kita yang semula.Terhadap fakta seperti itu, anda jangan berkecil hati. Yang penting pahamilah kedudukan yang ada, lalu buat kembali desain peta kehidupan anda yang baru. Pilihan anda tetap masih sangat banyak. Kalau dahulu pilihan itu sebenarnya diperuntukkan untuk kualitas manusia diatas rata-rata, sementara anda menyadari berada dibawah standar itu, maka yang diperlu disikapi adalah melakukan perubahan seperlunya; tidak perlu menjadi terbesar dan “the best “ di bidang seperti itu, tetapi anda masih bisa mencari standar cita-cita yang biasa tetapi anda kerjakan dengan sungguh-sungguh, dengan talenta. Yang perlu disikapi adalah, masih ada banyak kemungkinan.



Menurut Robert Kyosaki, upaya pertama yang berat adalah membuat “usaha pertama yang berhasil ”. Sesudah itu untuk membuat usaha kedua dan seterusnya, tidak akan seberat yang  pertama. Karena itu untuk  mencapai keberhasilan yang pertama membutuhkan talenta dan komitmen  prima. Kalau anda sudah mampu melewati masa-masa seperti itu, maka selebihnya lebih menitik beratkan pada kejelian serta kreativitas dan seni mengelola  dengan memanfaatkan kemampuan orang lain. Anda dituntut untuk mampu memilih tokoh yang  punya kemampuan serta pas untuk tugas-tugas yang telah anda rencanakan. Bisa jadi anda tinggal membeli perusahaan yang kurang sehat, kemudian memperbaikinya dan kemudian menjualnya kembali. Peluang untuk itu tidak terhingga  variasinya. Kalau kita memahami dialektika seperti ini, percayalah kehidupan itu ternyata sangat menyenangkan. Kita bias menikmatinya, meskipun kita tengah memperjuangkannya. Begitu saja Dahulu.