Penulis Dari Perbatasan: Wisata Asa Merintis Jalan Ke Surga
Melakoni rutinitas kehidupan pada hakikatnya adalah pembeda antara
seorang yang berhasil dan tidak. Karenanya gampang dilihat, mereka yang sadar
perlunya respon, antisipasi, dan Ramalan
Pelibatan serta evaluasi selalu akan menemukan dialektika hidup serta akan memberi kemampuan membaca
tanda-tanda alam. Sebaliknya, bisa dipastikan akan ditinggalkan kehidupannya
sendiri. Kehidupan itu memang dinamis, dia bergerak sesuai hukum alam (hukum
Tuhan) dan akan memberikan segalanya, selama itu dilakoni sesuai dengan pakemnya (baca
professional) serta tidak
mempertentangkannya.
Idealnya memang, gerak perubahan itu diarahkan atau disiasati agar
sesuai dengan yang diinginkan, apalagi kalau hal itu bisa di komunikasikan
dengan Tuhan sebagai si pemilik dari kehidupan itu sendiri. Maka keberhasilan
itu bisa menjangkau dunia – ahirat. Tapi itu di ranah bathin, teori. Para pebisnis mensiasati kehidupan mereka
dengan konsep Reenjinering, hal mana
dimaksudkan bukan hanya suatu perubahan dari akumulasi perbaikan demi perbaikan
“ continuous improvement “ tetapi bila perlu lebih cenderung ke arah suatu
lompatan besar, guna menyesuaikan dengan perubahan itu sendiri. Yang sering
terjadi, bukan saja tidak adanya usaha-usaha perbaikan dalam mensiasati
kehidupan itu sendiri, akan tetapi malah sama sekali tidak pernah
memikirkannya. Kondisi Inilah sebenarnya sebagai pangkal kemiskinan, yang
membiarkan proses dialektika itu berhenti. Inilah penyakit yang membawa manusia
menjadi hanya sekedarnya, bankrut dan melarat. Hidup tanpa memanfaatkan akal
sehat, lebih lagi kalau hanya menyerahkannya saja kepada rutinitas, inilah yang telah memperosokkan
banyak orang.
Dalam lingkungan budaya kita, pakem tentang kehidupan adalah
meyakini bahwa suatu cetak biru seseorang sebenarnya telah tertuang dalam suatu
konsep yang disebut Takdir. Bagi banyak orang takdir adalah sesuatu yang sudah
final, dan tahu tentang itu kalau ia sudah terjadi. Akan tetapi bagi sebagaian
lainnya percaya bahwa konsep takdir itu seperti sebuah “ Surat Keputusan “ yang
pada alinea terahirnya ada kata-kata pengecualian.
Artinya “ bilamana kelak ternyata ada satu dan lain hal, maka Surat
Keputusan (Takdir) ini bisa ditinjau ulang kembali“. Dengan kata lain takdir
itu sebelum terjadi masih bisa ber ubah, sesuai upaya yang tengah dilakukan.
Masih terdapat klausul yang memungkinkan untuk Peninjauan Kembali. Sesuai
respon yang dilakukan si pemilik kehidupan. Karena itu kehidupan sebenarnya
penuh dengan rahmat, full dengandinamika, kesemuanya itu terpulang kepada usaha
maupun upaya seseorang untuk merubahnya, termasuk dalam merubah nasibnya.
Sebenarnya setiap orang dipercaya akan melakoni hidupnya dengan
sebaik-baiknya, artinya setiap orang mempunyai cara yang sangat mendasar
tentang tata cara menjalani kehidupannya, mereka bisa memperoleh tuntunan itu
dari keluarganya, dari tradisi, dari ajaran guru-guru atau Ustad atau Romonya
dan dari berbagai referensi lainnya baik yang tertulis maupun yang tidak.
Masalahnya ada yang berhasil tetapi banyak pula yang tidak. Kalau saja ketidak
berhasilan itu dijadikan jadi cambuk untuk berbuat dengan lebih baik lagi tentu
akan sangat positif, tetapi kalau kegagalan itu berlalu begitu saja dan tidak
punya nilai apa-apa bagi sipemiliknya, maka hal inilah yang jadi bahan perbincangan kita.
Mengapa manusia hilang akal atau tidak memakai akal sehatnya? Sesuai
dengan fakta, manusia itu cenderung untuk melakukan sesuatu yang disenanginya,
termasuk tidak melakukan apa-apa sama sekali. Padahal semestinya,manusia itu
harus melakukan apa apa yang memang seharusnya dia lakukan. Sukur kalau yang
dia senangi itu termasuk bagian dari yang harus dia kerjakan. Tapi sering
terjadi justeru tidak pernah mempertanyakannya dan bahkan merasa tidak perlu tahu
harus berbuat apa. Itulah sebenarnya yang harus dengan arif dipertanyakan. Kita
harus dengan jujur mempertanyakan kehadiran kita di dalam kehidupan ini.
Psikolog mengatakan, penyebab
utamanya adalah karena kita tidak mampu mendefenisikan Tujuan hidup kita secara
detail. Ketidak mauan kita mendefenisikan tujuan hidup secara detail inilah
yang telah membuang dan mematikan peran
akal sehat itu. Itulah sesungguhnya kunci persoalannya. Kenapa kita tidak mau
atau tidak mampu mendefinisikannya secara realistis dan detail ? Jawaban
mudahnya adalah ; kita memang tidak mau karena itu akan mengikat kita sendiri.
Karena dengan mendefenisikan tujuan tersebut, akan membuat kita hidup terikat,
hidup bertanggung jawab. Padahal secara mendasar, orang cenderung berbuat
sesuatu tanpa harus terikat dan kalau bisa tidak harus menjadi beban apalagi
harus mempertanggung jawabkannya.
Para pebisnis atau praktisi bisnis seperti Robert Kiyosaki melihat
upaya mendapatkan penghasilan atau malah membuat usaha yang mampu menghasilkan
uang yang baik sebenarnya tidaklah susah. Berbuat sesuatu untuk memperoleh penghasilan yang layak atau
banyak sebetulnya tidaklah sulit. Ibarat menanam pohon, kalau ada lahan, ada
bibit dan ada pupuk maka prosesnya pastilah pertumbuhan. Kalau lahan sudah
diolah, dikondisikan serta diberi gulma atau pupuk dan kemudian ditanami dengan bibit yang baik
maka yang terjadi adalah pertumbuhan yang wajar. Ini adalah proses alam dan ini
adalah hukum Tuhan.
Tetapi anehnya, tidak semua orang mau memahami proses ini. Dan
jangan lupa banyak orang yang tidak peduli dengan hal-hal seperti itu.
Kecenderungannya adalah, mereka melakukannya tetapi tidak pernah mempertanyakan
kualitasnya. Intinya banyak pekerjaan itu dilakukan hanya demi sekedar
memperoleh demi kesan yang baik dan agar bisa diterima oleh lingkungannya.
Kalau nanti hasilnya tidak maksimal, bagi
mereka hal seperti itu biasa saja. Sama halnya dengan kemiskinan itu
sendiri. Lahir Miskin itu Takdir. Tapi hidup Miskin itu Lain Lagi. Bisa jadi
anda salah jalan. Jangan panik, anda bisa cari jalan lain yang lebih baik. Miskin
terjadi karena penghasilan anda tidak memadai. Anda tinggal cari cara lain
untuk menambah penghasilan Anda. Anda pasti tahu caranya (?) Dan lakukan itu
dengan baik. Itu saja. Sederhanakan?
Kalau kita menangkap esensi tulisan diatas, sebenarnya cara hidup kitalah yang bermasalah,
penyebabnya karena kita tidak mendefenisikan Tujuan kita secara detail dan
tidak melakukan pekerjaan kita secara professional. Selama ini kita menekuni
pekerjaan itu, karena kita diberikan pekerjaan seperti itu. Dari awal kita
memang tidak pernah mendesain hidup kita untuk jadi apa, dan tidak juga
mendefinisikannya akan menjadi apa. Kita hanya sekedar melakoni kehidupan itu.
Kita memang punya izasah dan dengan izasah itulah kita menggantungkan nasib kita
entah jadi apa. Kita juga akan menerima pekerjaan apa saja. Tidak peduli apakah
pekerjaan itu sesuai dengan keinginan kita, apakah upahnya bias menghidupi
kita? Yang ada hanyalah melakoni hidup itu dengan rutinas yang ada. Kalau
lingkungannya rajin, kita jadi rajin dan sebaliknya.
Kondisi lain yang kerap muncul adalah ketika kita sadar semuanya
sudah terlanjur sangat jauh. Katakanlah umur kita sudah diambang sore; ada
semacam kecemasan bahwa kita bakal tidak mampu lagi untuk mengusung cita-cita
kita yang semula.Terhadap fakta seperti itu, anda jangan berkecil hati. Yang
penting pahamilah kedudukan yang ada, lalu buat kembali desain peta kehidupan
anda yang baru. Pilihan anda tetap masih sangat banyak. Kalau dahulu pilihan
itu sebenarnya diperuntukkan untuk kualitas manusia diatas rata-rata, sementara
anda menyadari berada dibawah standar itu, maka yang diperlu disikapi adalah
melakukan perubahan seperlunya; tidak perlu menjadi terbesar dan “the best “ di
bidang seperti itu, tetapi anda masih bisa mencari standar cita-cita yang biasa
tetapi anda kerjakan dengan sungguh-sungguh, dengan talenta. Yang perlu
disikapi adalah, masih ada banyak kemungkinan.
Menurut Robert Kyosaki, upaya pertama yang berat adalah membuat
“usaha pertama yang berhasil ”. Sesudah itu untuk membuat usaha kedua dan
seterusnya, tidak akan seberat yang
pertama. Karena itu untuk
mencapai keberhasilan yang pertama membutuhkan talenta dan komitmen prima. Kalau anda sudah mampu melewati
masa-masa seperti itu, maka selebihnya lebih menitik beratkan pada kejelian
serta kreativitas dan seni mengelola
dengan memanfaatkan kemampuan orang lain. Anda dituntut untuk mampu
memilih tokoh yang punya kemampuan serta
pas untuk tugas-tugas yang telah anda rencanakan. Bisa jadi anda tinggal
membeli perusahaan yang kurang sehat, kemudian memperbaikinya dan kemudian
menjualnya kembali. Peluang untuk itu tidak terhingga variasinya. Kalau kita memahami dialektika
seperti ini, percayalah kehidupan itu ternyata sangat menyenangkan. Kita bias menikmatinya,
meskipun kita tengah memperjuangkannya. Begitu saja Dahulu.
No comments:
Post a Comment