Ilustrasi oleh Anton Susanto
Oleh Raudal Tanjung Banua
Apakah doa punya aroma? Setiap kali pertanyaan ini datang
menggoda, aku akan teringat seorang tukang doa yang setia di masa kecilku.
Entah mengapa, tiap kali mengingatnya, lafaz doa serasa bangkit bersama aroma
yang membubung dari hidung ke dalam batin. Adalah Bilal Jawad, lelaki setengah
baya yang sudah dianggap sebagai tukang doa keluarga di kampungku lantaran
kesetiaannya mendatangi kami pada hari baik bulan baik. Ya, sepekan menjelang
bulan puasa, Bilal Jawad akan datang ke kampung kami. Ia tiba selepas siang,
dan kembali semalam-malam hari ke rumahnya di kampung lereng bukit. Sebenarnya
dia berasal dari kampung kami juga, tetapi menikah di kampung sebelah. Bahkan,
ia termasuk kerabat ayahku, karena itu aku dan adikku memanggilnya Pak Uwo.
Di kampung istrinya, ia dipercaya sebagai bilal. Suaranya
lengking dan panjang, pas belaka dengan keadaan kampung yang berbukit-bukit.
Karena itu, tugasnya sebagai muazin tak tergantikan. Nah, di antara itu, Bilal
Jawad punya tugas yang juga tak tergantikan di kampung kami: memimpin doa
menyambut Ramadhan!
Sudah menjadi kebiasaan di kampung kami menyambut Ramadhan
dengan cara menggelar doa di tiap rumah. Ada beberapa tukang doa yang bisa kami
panggil, tetapi yang paling akrab Bilal Jawad. Tinggal menyesuaikan jadwal,
maka setiap rumah mendapat giliran didatanginya. Kami akan memasak yang
enak-enak: rendang, gulai ayam, goreng itik, kalio jengkol, ikan panggang.
Semua itu dihidangkan sehabis berdoa.
Bilal Jawad mencatat jadwal tahunan itu dengan rapi, buktinya
tak sekalipun ia alpa atau lupa. Boleh jadi karena ia sekalian berziarah ke
makam orangtua, menjenguk kerabat dan menengok rumah kelahirannya. Di rumah
yang ditempati keponakannya itulah ia beristirahat, sembari menunggu panggilan
memimpin doa.
Ia akan datang ke rumah orang yang memanggilnya dengan naik
sepeda ontel. Ia kenakan peci beludru, celana panjang katun serta kemeja lengan
panjang. Meski bukan bahan yang mahal, tetapi rapi terawat. Dan, lebih dari itu
menjadi penampilannya yang khas.
Dia biasa mengunjuk salam sejak dari halaman disertai dentang
lonceng sepeda tiga kali. Bila salam berjawab salam, maka naiklah ia ke atas
rumah, duduk di tikar pandan, tempat ia bersiap memimpin doa.
Ia akan bertanya kepada si tuan rumah, apa-apa hajat hendak
disampaikan, buat siapa doa dikirimkan. Tuan rumah akan berkata, ini doa hari
baik bulan baik, semogalah lancar segala ibadah, didatangkan berkah bagi seisi
rumah. Terucap pula nama-nama yang sudah tiada, almarhum-almarhumah, jika
sempit kuburnya mohon lapangkan, jika gelap minta terangkan. Lalu harapan
supaya anak-anak lancar bersekolah, padi di sawah jauh dari hama, mereka yang
di rantau bisa pulang berlebaran tahun ini dan berbagai pinta lagi.
Demikian halnya Bilal Jawad, ia sangat bertanggung jawab. Ia
menyambut permintaan dan harapan itu dengan air muka yang yakin. Katanya, Allah
Azza Wajalah menyuruh hamba berdoa, dan Dialah Maha Pengabul Segala Pinta. Si
tuan rumah serentak menyambut, ”Aaamiiiin..!!” bahkan sebelum doa dimulai.
Bilal Jawad membawa kemenyan sendiri di dalam saku
celananya—bentuk tanggung jawabnya yang lain. Jika tuan rumah lupa atau sedang
tak punya, ia akan mengeluarkan kemenyan simpanannya itu tanpa diminta. Ke
dalam bara api di atas loyang, kemenyan dibubuhkan, maka membubunglah asapnya
yang wangi mengiringi doa ke langit tinggi.
Bacaan doa Bilal Jawad sangat fasih. Sayup dan terang
ganti-berganti, seolah kata-kata suci itu telah terbang menjauh meninggalkan
kami yang duduk bersila, tetapi lalu kembali lagi ketika lafaznya dikeraskan.
Doa yang dirapalnya terbilang panjang dan lengkap, ibaratnya dari A sampai Z.
Setengah bergurau, orang kampungku biasa berkata, ”Berdoa bersama Bilal Jawad
serasa doa setahun diringkas satu hari, semua permintaan ada.”
Setelah doa selesai, dilanjutkan makan bersama. Seketika denting
piring dan gelas menggantikan keheningan. Namun, Bilal Jawad makan ala
kadarnya, sebab ia akan makan di tiap rumah. Jika sehari ia datangi empat atau
lima rumah, maka berapa piring makanan yang harus ia habiskan? Karena itu, ia
mengatur porsinya sedemikian rupa, sebab jangan sampai pula di satu rumah ia
tak makan. Bisa kecil hati si tuan rumah. Membesarkan hati orang lain itu baik.
Toh sisa makanan enak-enak itu selanjutnya akan kami gasak adik-beradik.
Sebelum turun jenjang, ayah-ibu kami biasa menyelipkan lembaran
uang ke tangan Bilal Jawad, juga ala kadarnya. Ia ucapkan terima kasih sambil
memasukkan uang itu ke dalam kantong celananya, kantong yang sama tempat ia
menyimpan kemenyan.
Konon, uang yang disimpan di kantong celana Bilal Jawad bukan
saja ikut berubah wangi, tetapi juga dianggap membawa berkah. Entah siapa yang
memulainya. Boleh jadi awalnya dari gurauan, tetapi lambat-laun membesar dan
diyakini, terutama kalangan anak-anak. Seperti kami yang selalu membayangkan
aroma uang yang keluar dari sakunya. Kami senang mengendus-endus uang kertas
yang kami miliki. Mana tahu beraroma saku Pak Uwo.
Maka, ketika tercium bau wangi, aku berteriak, ”Uang Bilal
Jawad!”
”Uang Pak Uwo!” kata adikku membetulkan kelancanganku.
”Ya, Pak Uwo Jawad,” ulangku.
Kami berebut menciumnya. Namun, ternyata bau rokok pertanda uang
itu dari saku ayah. Atau bau rampai pertanda ibu menyimpan uang itu di balik
bantal. Ini menambah rasa penasaran kami untuk memburu uang dari saku sang
Bilal.
Sepanjang petang hingga malam, Bilal Jawad bisa berdoa di atas
tiga hingga lima rumah. Ia akan diberitahu jadwal berdoa terlebih dahulu oleh
keluarga yang mengundangnya. Bilamana tiba giliran kami mendoa, maka tugasku
memberitahu Pak Uwo.
Lebih sering ia kudapatkan di belakang berkeliling melihat pohon
kelapa peninggalan orangtuanya. Kadang membersihkan beluntas, membetulkan
pancang kedondong, mengasah pisau, atau memperbaiki payung. Itu cara dia
mengisi waktu. Kalau aku datang, ia akan mengusap kepalaku dan kurasakan ada
berkah terselubung menaiki puncak ubunku.
Ia bertanya bagaimana sekolahku. Rasa simpatinya membuatku bisa
tanpa beban bercerita bahwa aku senang pergi ke muara tempat berlabuh kapal
ikan. Aku memungut ikan yang tercecer, meski Paman Markis—Pak Uwo-ku yang
lain—sering memarahiku.
”Tujuan Paman Markis-mu baik,” katanya. ”Kalau kau sudah
merasakan uang dari menjual ikan, kau tak akan mau sekolah. Kau akan mencari
ikan terus, mencari uang terus.”
Nasihatnya sejuk. Bau ikan di muara tiba-tiba terasa menusuk
hidungku, membuatku tak mau lagi ke muara. Padahal, sebelumnya Paman Markis
selalu gagal mencegahku.
Suatu hari menjelang bulan puasa, entah tahun berapa dari masa
kanakku, aku menjemput Pak Uwo Jawad lagi. Kali itu aku menemukannya sudah
berpakaian ”dinas” dan bersiap menuntun sepedanya. Karena itu, ia mengajakku
sekalian boncengan.
Aku bilang ibu pasti belum siap. ”Tadi kata ibu berdoanya habis
magrib, Pak Uwo. Sekarang gulai ibu belum masak.”
Pak Uwo tersenyum. ”Tak mengapa, kita berdoa dulu ke rumah yang
lain. Kau, kan, sudah memakai celana panjang,” katanya.
Memang, bila menjemputnya aku selalu disuruh ibu berpakaian
rapi, bahkan memakai peci. Kata ibu, selain menghormati orang yang akan
memimpin doa, itu bisa membawa berkah. Dan, ibu benar. Buktinya aku diajak Pak
Uwo berdoa ke rumah yang lain.
Kami melaju di atas sepedanya menuju rumah Etek Marianis.
Sepanjang jalan aku menghirup aroma yang wangi dari punggung baju Pak Uwo.
Jiwaku serasa membubung. Kucari-cari aroma yang pernah hinggap di hidungku.
Tetap saja aku merasa tak ada aroma yang menyamainya. Itu campuran menyan,
asap, bahkan keringat di lengan baju yang bersitahan mengulurkan telapak tangan
ke langit.
Belum habis rasa senangku menghirup aroma punggungnya yang agak
bungkuk, laki-laki itu sudah menghentikan laju sepeda. Ia bunyikan lonceng tiga
kali.
Teng! Teng! Teng!
Dari halaman rumah Etek Marianis yang luas, ia sebar salam ke
arah jenjang. Etek Marianis tersenyum manis menyambut kami. Dia sudah tahu
bahwa aku anak Si Anu dan ponakan Bilal Jawad, jadi tak ada pertanyaan apa-apa
saat ia melihatku.
Kami langsung masuk dan duduk di tikar pandan. Seperti biasa,
sebelum berdoa, Etek Marianis menyebut harapannya. Selain menyambut bulan puasa
dan mengirim doa untuk leluhur, ia juga berharap suaminya yang masih di
Malaysia bisa pulang sebelum Lebaran.
Aku ucapkan ”Aaamiiinnn…” dengan suara keras, seolah menyatakan
bahwa diriku ada bersama pemimpin doa. Pak Uwo-ku!
Karena Etek Marianis tak punya kemenyan, maka Pak Uwo
mengeluarkan kemenyan dari sakunya. Kemudian ia taburkan ke atas bara di
loyang. Dan, begitu bara ditiup, asap membubungkan aroma yang tak terkatakan.
Urat sarafku berdenyar. Dadaku penuh. Waktu terasa singkat. Mataku terpejam,
dalam, dalam….
Aku baru tersadar ketika seisi rumah bilang ”Aamiiiin…” dan tuan
rumah mempersilakan kami makan.
Pak Uwo dipersilakan menyanduk nasi lebih dulu.
Nasi putih dari beras baru, wangi dan pulen. Pak Uwo menaruh sepotong ikan
kakap di piringku. ”Kau suka ini, kan?” katanya.
Aku mengangguk.
”Makan yang kenyang, Kudal,” kata Etek Marianis. Gulai ikannya
enak, tetapi aku malu-malu, apalagi Pak Uwo makannya sedikit dan mencuci tangan
lebih dulu.
”Di rumah nanti juga mendoa, Tek,” kataku.
”O, mintalah supaya cita-citamu tercapai, Nak,” kata Etek
Marianis lagi.
Selesai makan, kami lalu pamit, pindah ke rumah yang lain.
Dan, begitu pula: berdoa, makan, pergi.
Hanya di rumah yang ketiga, si tuan rumah menganggap aku anak
Pak Uwo. Dia memang orang baru di kampungku, meskipun beberapa kali diundang
berceramah dan mengisi pengajian di kecamatan. Namanya Baihaqi, usianya separuh
usia Pak Uwo. Ia orang kota yang menikah dengan perempuan kampung kami,
Maryanti, yang pernah kuliah di kota provinsi. Wajar Om Baihaqi tak tahu siapa
aku, bahkan Uni Mar pun lupa padaku. Mereka baru pindah setelah ibu Uni Mar
meninggal menyusul sang ayah, kemudian mereka melanjutkan usaha keluarga
membuat kerupuk ikan.
Di rumah ini pula, untuk pertama kalinya aku bertemu tuan rumah
yang menolak membakar kemenyan, meskipun Pak Uwo bilang, ”Ini sekadar
harum-haruman.”
Baihaqi bergeming, sambil bergumam, ”Bagaimanapun, kami takut
bidah, Engku.”
Pak Uwo hanya tersenyum, dan tentu saja doa tetap lancar. Entah
dalam hatinya ada yang mengganjal, aku tak tahu. Untuk mencairkan suasana,
selesai berdoa, Om Baihaqi memberi kami kerupuk ikan. Sebelum melaju, kerupuk
itu kami gantung di setang sepeda. Lalu Pak Uwo bersenandung sepanjang jalan,
yang kelak kuketahui itu selawat nabi.
Rumahku yang keempat didatangi Pak Uwo hari itu. Sebelum
membunyikan lonceng sepeda, ia rogoh saku bajunya. Selembar uang seribuan ia
keluarkan. ”Ambil,” katanya.
Aku terkaget takjub mendapatkan uang keberuntungan langsung dari
Sang Bilal. Meski bukan dari saku celana tempat kemenyannya tersimpan, tetapi
apa bedanya? Seluruh pakaian dan tubuh pendoa seperti Bilal Jawad bagiku sama
diselubungi aroma doa.
Aroma itulah yang selalu menggodaku di rantau orang, setiap
memasuki bulan Ramadhan. Ya, sudah bertahun-tahun aku hidup merantau, sudah
banyak aroma kucium di tengah doa-doa yang dipanjatkan. Aroma setanggi, harum
lilin, hio, dupa, dan bunga-bunga. Di antara semua itu, aroma doa Bilal Jawad
tak pernah padam, tak lampus diterkam waktu.
Karena itu, aku bergembira kali ini sebab berkesempatan pulang
menyambut bulan puasa, sekalian menjenguk ayah-ibuku yang sudah tua. Aku akan
berdoa bersama mereka, dipimpin tukang doa kami yang istimewa.
Namun, betapa aku kecewa mendengar kabar dari adikku. ”Sudah
lama Pak Uwo tak memimpin doa,” katanya.
”Kenapa begitu?” tanyaku heran. ”Kurasa ia masih kuat menggayuh
sepeda…”
Adikku menjelaskan bahwa Bilal Jawad sudah tidak diperkenankan
membakar kemenyan saat berdoa setelah Ustaz Baihaqi diangkat jadi imam-khatib
yang baru di kampungku. Bagi Bilal Jawad soalnya tentu bukan sebatas larangan
itu, tetapi menyangkut harga diri. Entah cara yang ia terima menyinggung
perasaan, merasa dipaksa atau yang lain.
Yang jelas sejak itu ia tersisih atau menyisihkan diri di
kampung lereng bukit. Namun, aneh, mendengar kabar miring itu, lafaz dan aroma
doa Bilal Jawad tiba-tiba membubung di pucuk hidung dan menyusup ke dalam
batinku. Sejuk mewangi. Menyepuh langit tinggi.
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, Sumbar,
19 Januari 1975. Buku cerpennya antara lain Ziarah bagi Yang
Hidup (2004) dan Parang tak Berulu (2005). Mengelola
Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia di Yogyakarta.
Ilustrasi Cerpen, karya Anton Susanto, kelahiran
Bandung, 17 Desember 1979. Studio Lukis Departemen Seni Murni FSRD ITB,
Bandung. Pameran yang diikuti antara lain ”Banjir”, Bandung (2018) Bandung
Drawing Festival (2017)
Simber : Kompas.id, 13 Mei 2018