Ketika Semua Jalan Tertutup
Oleh Harmen Batubara
Pembaca yang budiman, perkenankan saya menuliskan
penggalan cerita yang secara langsung menyangkut jalan kehidupan kepenulisan saya serta berkah yang
dihasilkannya. Bisa jadi hal seperti ini jauh dari memadai, tetapi sejujurnnya
menulis telah memberiku segalanya.Harapan yang memberikan semangat, semangat
kehidupan yang enak dan
bahagia untuk dilakoni. Memang masih tetap dalam batasan bersahaja tetapi
sungguh memberikan kebahagiaan tersendiri. Menulis ternyata bisa membuka
peluang dan memberikan rasa bermakna dan juga menyelesaikan persoalan itu
sendiri.
Ini adalah penggalan jalan kehidupan penulis, terkait kegiatan menulis. Saya yakin
hal seperti ini akan memberikan sedikit
makna bagi banyak orang. Namun demikian saya percaya semua orang mempunyai
penggalan kehidupannya sendiri-sendiri yang juga tidak kalah menariknya.
Penggalan kehidupan yang tertatah dengan emas dan bahkan berlian. Karena itu
saya juga bisa menahan diri. Tetapi yang ingin saya kemukakan di sini adalah
saya pernah mengalaminya, yakni hanya punya satu pilihan. Yakni untuk jadi
seseorang sebagai penulis. Padahal dari sananya, saya sama sekali jarang
bersentuhan dengan upaya untuk menulis. Memang membaca saya suka. Tetapi untuk
menuliskannya, saya selalu kesulitan. Kesulitan untuk menyusun kata-katanya.
Mana kata-kata yang harus di dahulukan. Pendek kata menulis adalah sesuatu yang
tidak terpikirkan sejak dari awalnya.
Pernah dengar dengan istilah tentang anak batak di
perantauan kan? Batak tembak langsung. Tapi ini untuk setting ceritra tahun
tahun 70an. Itu menurut saya adalah upaya untuk menggambarkan anak-anak batak
yang di kampungnya sana, dia dengan segala keterbatasannya. Dia yang aslinya
belum tahu apa-apa, dia yang tidak tahu apa itu universitas, apa itu aturan
lalu lintas jalan; tidak tahu mana saatnya stop dan mana saat jalan ketika
melihat lampu setopan “abang-ijo” di perempatan jalan. Tetapi semua itu tidak menyurutkan semangat mereka
untuk melanjutkan kuliah ke Jawa. Banyak dari mereka yang kondisi orang tuanya,
sungguh tidak memungkinkan untuk membiayai kuliahnya. Tapi anak-anak batak itu
tetap nekat. Tidak berbeda dengan
anakan penyu yang meluncur ke laut, dari ribuan yang berlari yang sampai hanya
beberapa. Saya salah satu diantaranya. Saya waktu itu, hanya
berbekal uang sebesar 15 ribu rupiah dengan kesanggupan orang tua biaya bulanan
satu ribu perbulan, dengan tujuan
Yogyakarta. Ongkos kapal waktu itu sudah 6 ribu, uang daftar di UGM 3 ribu.
Belum lagi ini itu, jelas membaginya tidak bisa atau sangat sulit sekali.
Tapi itulah jalannya kehidupan, panggilan suratan tangan.
Sesungguhnya kisah itu sendiri jauh lebih menarik kalau dituliskan dengan hati.
Bagaimana anak kampung dengan semua ke idiotannya menapaki hidup di kota besar metropolitan.
Banyak dari teman-teman meski tetap terbatas, tetapi umumnya punya uang bulanan
bervariasi, antara 15-25 ribu perbulan. Tapi hal itu sama sekali tidak memberi
pengaruh yang berlebihan bagi perjalanan nasibku. Sangat bersyukur karena meski
dengan berbagai keterbatasan itu, ternyata saya diterima kuliah di UGM. Saat
itu sebuah pencapaian luar biasa. Apalagi bagi seorang siswa lulusan SMA pedalaman dari Sumatera. Tetapi dengan uang satu
ribu rupiah perbulan jelas ini sebuah tantangan. Tantangannya nyata dan sungguh
luar biasa.
Saya sendiri punya jurus kehidupan langka tapi, menurut saya pas. Misalnya dalam
mencari tempat Kos, carilah di wilayah kota yang tidak ada listriknya.
Maksudnya agar segalanya lebih terjangkau dan murah. Lokasi itu saya temukan,
yakni di Gondolayu, pinggir kali Code. Memang kondisinya kumuh, dan tempat
mandinya juga di sumur-sumur seadanya di pinggiran kali code kala itu. Tapi bagi anak kampung seperti saya jelas
itu jauh lebih baik dari di Kampung. Waktu itu saya malah dapat tempat kost
yang tidak perlu bayar apa-apa.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana hidup dengan uang
sebesar itu? Memang harga beras waktu itu per kilonya masih rp 30 rupiah. Jadi
10 kg harganya sebesar 300 rupiah. Tapi hidup dengan uang 700 rupiah perbulan,
sudah termasuk semuanya secara logika itu tidak masuk akal. Teman saya yang
waktu itu kost di asrama Realino, bayarannya sudah 15 ribu rupiah per bulan.
Tapi saya sangat percaya jalan pasti ada. Saya
yakin sekali, jalan untuk itu pasti
ada. Cuma sayangnya saya belum tahu. Dari berbagai analisa yang saya lakukan,
maka jalan yang tersedia adalah jadi penulis di koran harian. Karena menulis
tidak terikat waktu, tidak mengganggu waktu kuliah. Tapi menulis untuk bisa
dimuat di koran tentunya, bukanlah tulisan yang dibuat oleh penulis seperti
saya yang tidak tahu apa-apa tentang menulis. Tapi jalan itu jelas terbuka. Dan
saya percaya jalan saya ada di sana. Cuma bagaimana memulainya.
Saya beruntung dan tergolong anak anak yang mudah
beradaptasi, dan dengan cepat saya mendapatkan tugas sebagai pembersih dan
penunggu “kantor” RW. Sebagai petugas RW saya boleh memakai sarana itu kapan
saja, tugas saya hanya merawat kantor, mengetikkan dan menyampaikan surat-surat
dinas dan undangan. Entah bagaimana ceritanya, pak RW malah membolehkan saya
tinggal di situ, lengkap dengan makan minum gratis di warung yang ada di dekat
kantor itu. Coba bayangkan, alangkah murahnya hati pak RW itu. Tuhan menolongku
lewat kebaikan hati pak RW. Sederhananya saya dapat pekerjaan jadi penjaga dan
merawat kantor RW tanpa upah, tetapi sebaliknya saya bisa tinggal di kantor itu
dan dapat makan. Sungguh pencapaian yang luar biasa dan, itu saya peroleh
ketika saat mandi di pinggiran kali code.
Sungguh saya sangat bersyukur karena “tangan Tuhan”
memberikan saya begitu mudahnya dan semuanya. Tempat tinggal dengan semua
sarananya, malah ada listrik, air ledeng dan mesin tik kantor yang bisa saya
pakai sampai pagi. Padahal umumnya warga di kampong itu ya hanya dengan lampu teplok dan air sumur. Waktu itu,
sasaran dan tekad saya hanya satu jadi penulis. Menulis untuk mendapatkan honor
bagi kelanjutan kuliah. Sebagai mahasiswa UGM akses ke perpustakaan terbuka
lebar, bahan bacaan saya melimpah. Meski saya tidak atau belum bisa berbahasa
inggeris, tapi anehnya saya merasa ngerti apa yang dimaksudkan oleh tulisan
dalam buku-buku atau majalah berbahasa inggeris itu. Jadi seolah ide tulisan
itu bisa saya tangkap untuk kemudian saya tuliskan dalam aroma dan suasana
kehidupan sosial masyarakat kita. Saya terus menulis, menulis, menulis dan
menulis. Menulis dengan mesin tik sebelas jari setiap ada kesempatan.
Sampai suatu hari setelah enam bulan mengetik tulisan
siang dan malam. Salah satu tulisan saya
dimuat di Koran dua mingguan EKSPONEN YOGYAKARTA. Aduh senangnya bukan main.
Rasanya dunia ini jadi begitu indah. Saya lalu mengajak anak pak RW mengambil
honor tulisan itu di jalan KH Dahlan. Memang besarnya hanya 500 rupiah, dan
honor itu sendiri saya berikan ke anaknya pak RW. Maka sontak di desa itu nama
saya jadi buah bibir dan terkenal, mahasiswa UGM itu ternyata pintar juga
menulis. Tetapi yang lebih heboh lagi, dua minggu kemudian, koran Sinar Harapan
Jakarta memuat tulisan saya dengan honor 27.500 rupiah begitu juga dengan
Surabaya Post dengan honor 30.000 rupiah. Setelah itu tulisan saya sudah ada
dimana-mana. Bayangkan teman-teman saya umumnya hanya punya wessel antara 15-25
ribu perbulan sementara saya sudah punya penghasilan dengan rata-rata 30 ribu
perbulan.
Saya percaya kemudahan itu, memang diberikan Tuhan pada
saya karena saya telah meminta kepadaNYA. Saya telah melakoni hidup dengan
penuh adaptasi, menjaga hubungan baik, menjadi anak muda yang santun dan ringan
tangan. Saya tahu banyak orang yang bersimpati dengan upaya saya, ditambah lagi
doa kedua orang tua setiap saat. Sejujurnya saya juga tahu dan yakin bahwa
dalam perjalanan kehidupan saya, Tuhan pasti membantu saya dan yakin seyakin
yakinnya bahwa pertolongan Tuhan pasti datang bila sudah tiba saatnya. Saya
hanya perlu bersabar, bersabar dan ihtiar. Tapi kapan? Itulah rahasiaNYA.
Karena itu saya melakukannya dengan yang terbaik, dengan empati serta dibalur
dengan semangat pantang menyerah. Berkarya dengan merebut HatiNYA. Dengan
referensi seperti itu, saya ingin menuliskan buku ini bagi anak-anak muda zaman
sekarang. Zaman dimana semua serba ada dan serba tinggal sentuh.
Saya menikmati kehidupan masa muda saya di Gondolayu
selama dua tahun. Pada tahun ke tiga saya sudah bisa menyewa kamar di Jetis
Harjo tepat di depan Teknik Geologi UGM waktu itu. Sebagai mahasiswa penulis
saya juga sudah punya sepeda motor, dan bisa membayar berbagai kebutuhan saya
sebagai mahasiswa Yogya. Setelah saya
memasuki kuliah di tahun ketiga, maka dunia kepenulisan telah mulai memudar
karena digantikan oleh dunia survei dan pemetaan. Dari segi penghasilan, tantangan
kerja di lapangan ternyata dunia survei lebih menantang. Menulis bagi saya
waktu itu hanyalah jadi selingan, sementara kehidupan saya sudah sepenuhnya di
topang oleh pekerjaan survei dan pemetaan. Apalagi waktu itu saya juga diangkat
sebagai Chief Surveyor untuk lembaga penelitian kerja sama UGM dan KemenPU
dalam hal penelitian persawahan Pasang Surut. Kehidupan mahasiswa saya sangat
mennyenangkan. Mandiri, penuh dinamik dan antusiasme.
Sehabis dari Yogyakarta, saya kemudian masuk Perwira
wajib militer dan menjadi Letnan Satu di Direktorat Topografi TNI-AD. Saya
sangat senang dengan kehidupan baru saya sebagai prajurit TNI. Porsi latihannya
menurut saya banyak, hidup kita seolah hanya berkisar belajar, latihan dan
penugasan. Kemudian kembali lagi ke barak, sekolah lagi dan latihan lagi untuk
kemudian ditugaskan ke lapangan. Pekerjaannya penuh dan menarik hanya dalam hal
kesejahteraan sungguh sangat terbatas. Dalam kondisi seperti itulah, saya
kemudian melihat lagi potensi kepenulisan saya. Saya terlanjur senang dengan
kehidupan prajurit tetapi dari sisi kesejahteraannya sungguh sangat terbatas
dan perlu tambahan.
Waktu itu saya berhasil mendapatkan izin dari Komandan (
maksudnya boleh menekuni kepenulisan asal jangan menyangkut kebijakan
pemerintah dan perihal kehidupan sosial, selebihnya silahkan). Maka saya
kembali melihat potensi menulis dalam kehidupan saya. Ketemu kembali kawan lama
dalam hal kepenulisan dan jadilah saya memulainya jadi staf redaksi di Majalah MEKATRONIKA di
Bandung. Saya melakoni hidup yang ambi valen ya? Ya kira-kira begitulah.
Sebagai prajurit saya suka kehidupannya, saya suka pekerjaannya, pelatihannya
disiplinnya, tetapi untuk hidup saya
harus jadi penulis dan menulis. Gambarannya lebih kurang begini. Sebagai
prajurit dengan pangkat Lettu (1982 an) gaji dll nya semua 90 ribu perbulan,
sudah termasuk Uang Lauk Pauk. Cicilan rumah 60 ribu perbulan. Hidup dengan 30
ribu dengan keluarga jelas sangat tidak memadai.
Tetapi dengan menulis saya kemudian memperoleh honor
sebenar 75 ribu perbulan dengan volume tulisan minimal satu tulisan dalam satu
minggu. Saya kemudian mendapatkan kontrak kepenulisan buku dengan kesediaan
penerbit mau membayar satu naskah buku sebesar satu juta rupiah. Kontrak
aslinya jumlah honor adalah 12.5 % dan harga buku (cover price), tetapi penerbit
mau membayarkan satu juta per satu naskah dengan catatan nantinya akan di
perhitungkan kembali. Karena waktu itu saya mintak ada pembayaran di depan
sebagai biaya produksi yang meliputi beli buku-buku, penelitian dll. Maka
jadilah saya prajurit dengan gaji sebesar
1.250 ribu rupiiah per bulan. Wow sungguh luar biasa. Sebab setiap bulan
saya bisa menghasilkan satu naskah buku plus lain-lain. Secara finansial saya
tergolong kuat tetapi dari segi kerja, memang kerjanya dengan berbagai arah.
Kondisi seperti itu bisa bertahan sampai satu tahun,
karena kemudian tuntutan hidup ke prajuritan saya menghendaki tugas lain. Yakni
sekolah ke luar negeri, ke banyak negara sahabat seperti Amerika, Australia,
Inggris dan Belanda. Kalau masa itu sudah era dot com mungkin, kehidupan
seperti itu malah jadi tantangan yang sangat menarik. Tetapi karena dunianya
masih sangat manual, maka kerja sebagai penulis harus kembali di nomor duakan.
Tapi untungnya, sebagai tugas belajar di luar negeri kita juga mendapatkan
berbagai tunjangan. Tunjangan pakaian itu sudah pasti, TNI memberikan semuanya,
dan tergantung lagi musim apa di sana. Jasnya saja ada 4 stel, jas dan stelan
untuk kehidupan sosialisasi di tengah komunitas internasional lainnya baik
sebagai warga biasa (sipil) maupun sebagai prajurit. Tunjangan berbentuk uang,
yang jumlahnya itu US$24 per hari. Boleh dikatakan, dalam tiap tahunnya 6 bulan
di luar negeri untuk berlatih dan belajar di luar negeri dan enam bulan lainnya
di lapangan di wilayah nusantara. Menulis sudah tidak sempat lagi. Tapi satu
hal yang pasti menulis dalam perjalanan hidup saya telah memberikan warna yang
sangat khas, dan saya sangat menikmatinya. Menulis telah memberikan saya apa
saja, termasuk segalanya di saat semua jalan seolah sudah terutup. Semoga ada manfaatnya.
No comments:
Post a Comment