Menghubungkan Masa lalu, Kini dan Nanti
Oleh Arahmaiani
Mengenang, menggali, dan menghidupkan kembali budaya kreativitas masa
lalu adalah kebiasaan baik dan penghormatan pada usaha manusia. Apakah itu
leluhur suku tertentu ataupun bangsa tertentu dengan segala perbedaan dan
kesamaannya adalah cermin usaha manusia untuk merayakan kehidupan. Merupakan
upaya untuk menghargai apa yang sudah dilakukan para perintis demi mencapai
kualitas kehidupan yang manusiawi dan selaras dengan alam.
Sejatinya merayakan kekayaan peninggalan budaya dan peradaban manusia
atau hasil kreativitas adalah sikap yang harus dihargai oleh siapa pun. Tanpa memilah-milah sedemikian rupa
untuk mengunggulkan satu dan merendahkan lainnya. Apalagi jika mengingat bagaimana
kita membutuhkan kehidupan dalam kebersamaan demi kesatuan umat manusia yang
terancam terpecah belah dan saling menghancurkan. Entah karena perbedaan
ideologi, keyakinan, kebudayaan, ataupun sekadar kebiasaan. Namun, bisa membawa
petaka memilukan: perseteruan, perang, dan kehancuran kehidupan yang seperti
bisa kita saksikan terjadi di berbagai tempat dan pelosok bumi saat ini.
Bagaimana manusia bisa menjadi kejam dan tega, tidak hanya terhadap sesama,
tetapi juga pada makhluk lain dan planet bumi yang menjadi rumahnya.
Berkaca Pada Kenyataan
Indonesia tentu tidak
terkecuali dalam hal ini. Perpecahan kalangan elite politik dan usaha mereka
untuk melindungi diri dari ancaman hukum dan memelintirnya karena mungkin
terlibat kasus korupsi adalah sebuah kenyataan yang harus diwaspadai. Bagaimana
manipulasi wacana politik yang awalnya terdengar mulia dan diwarnai janji
tanggung jawab untuk kesejahteraan bangsa bisa berubah. Dalam kenyataannya
menjadi sekadar cara untuk mencari dukungan demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Begitu pula dengan
laku berbisnis yang tak bertanggung jawab yang telah mengakibatkan hancurnya
lingkungan hidup. Mengakibatkan nyaris punahnya hutan tropis kedua terbesar di
dunia karena keserakahan pengusaha dan praktik korupsi aparat pemerintah. Menghilangkan
lahan hidup masyarakat adat yang juga berarti meluluhlantakkan budayanya. Juga
telah menyumbang permasalahan lain, seperti polusi udara, air, dan tanah.
Selain itu, juga menambah emisi karbon yang akan memperparah pemanasan global
dan perubahan cuaca. Akhirnya akan menyengsarakan bukan saja orang Indonesia,
melainkan juga seluruh penghuni planet ini. Karena dalam kenyataannya kita
hidup dalam keterkaitan antara satu dan lainnya. Ya, sudah saatnya ide
”kedaulatan nasional” kini diperlebar lagi pemaknaannya.
Begitulah, betapa luas
dan rumitnya permasalahan kehidupan hari ini. Dipicu oleh sistem keuangan dan
industri yang pada awalnya bertujuan untuk menyejahterakan kehidupan lewat
modernisasi yang lahir dari masa ”pencerahan”. Manusia kini dihadapkan pada
kenyataan bahwa usahanya untuk kebaikan tidak selalu berhasil dan malah justru
membawa bahaya atau bahkan petaka. Demikian manusia tak luput dari kesalahan
dan harus menanggung akibatnya.
Krisis demi krisis
keuangan global maupun regional telah membuat kehidupan menjadi tanpa
kepastian. Harga barang kebutuhan terus merambat naik, sementara ekonomi
perlahan mengalami stagnasi atau bahkan penurunan. Jurang antara si kaya yang
minoritas dan si miskin yang mayoritas menjadi makin lebar dan menganga. Mengakibatkan
masalah ketidakadilan sosial yang sangat serius dan mengancam hancurnya
kerekatan. Korban banyak berjatuhan dan mengakibatkan arus pengungsian yang
amat besar ke berbagai tujuan. Menimbulkan masalah sosial politik yang rumit
dan berpotensi memicu persoalan yang lebih gawat seperti ambil contoh apa yang
terjadi di Myanmar, di mana umat Islam dan Buddha seakan menjadi bermusuhan.
Peringatan Universal
Semua masalah ini
adalah peringatan lebih dari cukup yang harus segera kita tanggapi. Amat sulit
memang membayangkan bagaimana mencari solusi dari masalah yang sedemikian rumit
ini. Dibutuhkan eksplorasi kreatif yang tak hanya dibatasi oleh kegiatan seni
biasa, tetapi yang bersifat trans-disiplin. Dalam hal ini pun tidak dibatasi
oleh praktik yang sudah dikenal selama ini. Perlu dibuat terobosan lebih jauh
di mana pada dasarnya semua elemen dalam masyarakat bisa diajak berdialog dan
bekerja sama.
Cara dan metode ”kuno”
yang bersifat konfrontatif—biasanya dilakukan pada penguasa atau mereka yang di
posisi kuat—mungkin dalam konteks hari ini sudah tidak efektif lagi. Karena
memang sering kali hanya menjadi kegiatan sebatas wacana kalaupun bukan pemicu
kekerasan dan perpecahan! Inilah tantangan garda depan yang utamanya harus
dihadapi dalam kebersamaan oleh seniman, ilmuwan, dan rohaniwan. Memadukan
dengan cara kreatif bidang dan keahlian berbeda dalam kesetaraan. Menghormati
perbedaan tetapi sekaligus mampu melihat persamaan yang akan menjadi
penghubungnya. Dengan demikian, segala potensi dan kemungkinan bisa diberdayakan
tanpa dihambat oleh tembok pemisah berupa keangkuhan kekhususan bidang
masing-masing.
Kembali ke kebudayaan
kreatif masa lalu sebagai sebuah contoh model di mana elemen-elemen tersebut di
atas bersatu-padu dalam usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Bisa
dilihat dari peninggalan-peninggalan masa lalu yang tergambarkan di candi-candi
kuno, baik yang dibuat dari batu maupun terakota atau tembikar yang juga
dikenal dengan nama gerabah. Misalnya, rumah peribadatan kuno gerabah yang
paling tua di Nusantara sampai sejauh yang sudah ditemukan adalah candi Batu
Jaya di Jawa Barat (dibangun pada abad ke-4 hingga ke-5 Masehi). Ini bisa
dijadikan contoh bagaimana ilmuwan, rohaniwan, teknokrat, dan seniman bekerja
sama mewujudkan wadah yang menjadi tempat mengolah kehidupan, baik pada tataran
spiritual, mental, maupun intelektual secara terintegrasi.
Sekalipun tempat ini
diciptakan dengan teknologi awal yang sederhana, tak mengurangi nilai dan
sistem budaya yang mengintegrasikan segala potensi manusia untuk bisa
menjadikan kehidupan lebih beradab dan bermartabat. Hal ini bisa dijadikan
bahan renungan di dalam konteks budaya dan peradaban modern yang kini menjadi
melenceng dari apa yang diharapkan oleh para pembaru di zaman pencerahan. Yang
justru malah menimbulkan petaka bagi umat manusia dan merisikokan kehidupan.
Dalam lingkup dan
konteks hari ini kita bisa mulai dengan hal sederhana, semisal memulai kembali
menghayati cara berkreasi gerabah (tembikar) atau terakota ini. Yang bersifat
ramah lingkungan dan murah sehingga bisa dimanfaatkan dan dilakukan siapa saja.
Tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku, bangsa, maupun warna kulit. Dengan
cara kerja yang bersifat komunal, orang bisa kembali mempelajari dan menghayati
kehidupan yang alami dalam kebersamaan dan keterkaitan. Selain memahami
sejarah/sejarah budaya, teknologi, aspek sosial politik, aspek ekonomi, dan
antropologi budaya secara umumnya, juga tentunya menyadari kenyataan bahwa alam
kini cenderung hanya dipandang sebagai obyek belaka.
Demikian perhelatan
seni Biennale Terakota di Desa Kasongan, Bantul, DI Yogyakarta, yang digagas
oleh Noor Ibrahim dan Iwan Wijono telah membuka cakrawala kreativitas yang
lebih luas. Masa lalu dan kuno yang sering dianggap kurang penting karena tidak
tampak secanggih yang kini bisa dibongkar dan didayagunakan lalu dihubungkan
dengan masa kini. Dengan demikian, fantasi dan imajinasi manusia bisa
diaktifkan untuk secara leluasa memasuki masa lalu, masa kini dan masa yang
akan datang. Yang akan memacu lebih jauh kreativitas tanpa meninggalkan akar
budaya serta penghargaan atas keberlimpahan dan keramahan alam.
(kompas,26 juli 2015)
No comments:
Post a Comment